Trending Topics

.

.

Monday, July 29, 2013

Sebuah Komplek

Sebuah Komplek: Kumpulan dari Beberapa Rumah, Pohon-Pohon, Belukar, dan Tanah Kosong

Tahun 1999 adalah tahun yang melatari hijrahnya keluarga kami kemari. Awalnya, aku yang kala itu masih hanya seorang bocah tiga tahunan hopeless terhadap tempat ini. Di tengah sebidang tanah amat luas yang mirip sabana latar film dokumenter Induk dan Anak Singa, hanya berdiri sebuah rumah setengah jadi sendirian. Rumah itu hanya berupa kerangka rumah yang sudah dilengkapi dengan dinding dan atap, tapi tidak samasekali dengan jendela atau pintu, apalagi cat tembok. Disanalah beberapa bulan setelah aku mengetahui keberadaan rumah setengah jadi ditengah sabana itu kami tinggal. Ketika keluarga kecil kami bedol desa kesana, rumah itu hanya berkembang sedikit. Perbedaannya dengan yang sediakala hanya soal jendela dan pintunya yang kini sudah ditutup dengan triplek, dan lantai kamar utama yang sudah diplester.

Pindah rumah berarti kesepian, begitulah kira-kira definisi yang bisa kutangkap saat itu. Rumah yang sebelumnya kami tempati adalal salah satu dari sederet rumah petak mungil yang mengelilingi sebuah lapangan tempatku dan teman-teman biasanya main. Kontrakan petak sejenis itu memang yang paling diminati baik pada saat itu maupun sekarang sepertinya oleh para pasangan muda dengan anak satu yang menggantungkan nafkah pada sekian banyak perusahaan swasta yang terdapat disekitarnya. Terdengar miris memang tapi justru dari kehomogenan nasib itulah aku dapat banyak teman yang seusia, dan buat seorang bocah dengan tingkat pemikiran sebagai mana bocah tiga tahun pada umumnya aku hanya dibuatnya senang.

Kontrakan itu semacam sebuah tingkatan sekolah untuk sebuah keluarga baru. Karena dari sanalah mereka kemudian membangun sukses mereka masing-masing. Ketika kami semua, para anak pertama tumbuh dalam sekapan rumah petak sempit, orang tua kami sibuk menabung untuk hunian sekaligus masa depan yang lebih baik. Hingga ketika tabungan yang ada sudah cukup memadai atau sudah cukup memiliki akomodasi yang lebih baik dari ini diluar sana, satu persatu dari keluarga-keluarga kecil yang ada disini lulus. Dan mereka yang lulus meninggalkan rumah petak itu untuk ditempati generasi selanjutnya dengan perasaan bercampur aduk —sebagaimana kelulusan pada umumnya— sambil berharap akan kehidupan yang lebih baik.

Hari itu giliran keluargaku yang lulus. Aku tak ingat persis tapi suasana ketika ada yang pindahan selalu sama, semuanya ikut mengantar, banyak barang-barang yang tak pada tempatnya, masak dan makan besar lalu beres-beres besar. Kesannya selalu saja berantakan dengan banyak debu beterbangan dan air kemasan gelas yang menghangat karena radiasi matahari yang teramat terik. Tapi di satu sisi ada bagian menyenangkan dimana tempat tidur dan sofa berada diluar rumah sehingga kami para anak-anak bisa bermain dengan lebih banyak properti. Semua teman-temanku disana yang tak setiap hari lengkap pun kala itu hadir seluruhnya sehingga suasananya ramai luar biasa, tapi sungguh, kontrasnya benar-benar terasa ketika akhirnya mereka pulang dan meninggalkanku sendirian di tengah sabana. Kesepian membuat bocah yang sekarang adalah aku itu menangis. Sambil berusaha mendiamkanku ibuku mengatakan bahwa suatu hari aku akan punya banyak teman disini, dan yang bisa kulakukan hanya menahan isakan dan mengamini dalam hati.

Empat belas tahun setelah hari itu, padang sabana yang kulihat ketika pertama kali sampai disini itu sudah banyak berubah. Tak hanya rumahku, tapi sudah banyak rumah lain disini. Benar kata ibuku waktu itu, aku bisa punya banyak teman disini. Rumah-rumah lain dibangun setelahnya silih berganti. Mereka juga memiliki nasib yang serupa dengan kami, baru saja lulus dari kelompok kontrakan petak yang lain dan hendak memulai hidup yang sebenarnya disini. Dan benarlah, sejak ada rumah lain yang dibangun beberapa meter dari rumahku, kami berjuang bersama untuk mewujudkan mimpi-mimpi kami di tempat ini.
Tak banyak penghuni komplek ini jika pohon semak, dan tanah kosongnya tak dihitung, oleh karenanya aku akan ceritakan satu-satu. Dan tentu saja, dimulai dari keluarga ini.


Rumah nomor 12 (sekarang 164)
Dihuni oleh sebuah keluarga inti bahagia yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Ayahnya seorang pegawai swasta biasa, tapi bisa merangkap jadi berupa-rupa profesi dirumah. Kadang ketika ada instalasi listrik, jetpam, atau peralatan elektronik warga komplek yang rusak, ayah yang biasa dipanggil Bapak oleh anak-anaknya ini bisa menjelma jadi teknisi (padahal jurusannya di SMA itu IPS). Bapak yang hobi merombak rumahnya ini juga menukangi dan mengarsiteki rumahnya sendiri. Kadang juga bapak yang pribadinya cukup menyenangkan ini mengerjakan tugas prakarya anaknya atau bahkan anak tetangga. Beliau juga hobi masak dan bikin kue kalo lagi nggak sibuk. Entahlah, bapak ini multi talent. -_-
Ibu di rumah ini usianya hampir sama dengan sang Bapak yang multi talent tadi, cuma satu bulan lebih muda. Kata orang sih galak, dan saya dulu sempat beranggapan demikian juga#plakk, tapi nggak juga ah. Menurut sepengelihatan orang saya yang merupakan anak dari si ibu ini sering berantem sama beliau, tapi sebenernya kami hanya beradu argumentasi belaka, habis kami berdua ini sama kerasnya, tapi diluar itu hubungan kami baik-baik saja. Saya kasih tau aja nih ya, sebenernya ibu saya ini baik —tapi narsis— dan nggak bisa nyantai orangnya, itulah kenapa beliau sering dibilang gampang marah. Ibu di keluarga ini belakangan sering disapa Bude Warung karena kami buka warung -_-
Anak-anak mereka ada dua, dan kucing mereka ada empat.
Anak mereka cewek dua duanya dengan selisih umur 7 tahun lamanya. Yang sulung, tahun ini lulus SMA karena ikut kelas akselerasi dan yang kecil umurnya tahun ini 10 tahun. Problem yang mereka hadapi hanya sebaaimana keluarga biasa yang anak-anaknya suka berantem. Tapi kalo kami berantem pasti itu gara-gara adek saya galak. Sumpah, adek gua galak beneran!#plakk
Di komplek ini mungkin saya terkenal sebagai cewek males. Abis nyokap kalo abis ngomelin saya curhat kanan kiri~ Tapi saya nggak males males amat kok~ Selain itu, karir saya sebagai desainer cuma-cuma belakangan mulai diminati sama warga komplek ini:D

Lanjut,
Rumah nomor 11 (Sekarang nggak tau berapa)
Isinya seorang Ibu, anak sulung yang sudah bekerja, dan seorang anak bungsu yang tadinya kakak kelas saya sekarang jadi seangkatan sama saya~ kheheh#plakk
Dulu ada Ayah mereka yang memang mereka panggil Ayah dan saya panggil Pakde, tapi beberapa tahun yang lalu, ketika saya duduk di kelas satu SMP, beliau meninggal. Sedih, iya. Belum pernah saya lihat komplek ini jadi semuram kala beliau meninggal sebelumnya. Padahal beliau orangnya baik, saya masih inget beliau suka nganterin saya pas pulang ngaji malem-malem, dan bayarin ongkos saya kalo kebetulan berangkat bareng. Haah…
Ibu mereka biasa saya sapa Bude, satu-satunya pengusaha kreatif yang konsisten di komplek ini. Beliau ini pengusaha salon sekaligus pengusaha kue. Kalo ada yang ulang tahun, beliau suka buatin kue tart sebagai kado, termasuk buat saya heheh…#plakk Yah, gitu ya, enak kalo punya banyak keahlian. Selain itu beliau juga kolektor tanaman hias. Dulu mereka juga miara banyak burung, sehingga kalo diperhatikan, rumah keluarga inilah yang paling enak diliat diantara rumah lainnya di komplek kami.
Anak sulungnya biasa saya sapa Teh. Waktu kecil sering ikut lomba nari, dan dulu pernah belajar sepeda bareng sama saya :D  Saya inget, dulu waktu saya main ke rumahnya dan barbie saya ketinggalan disana, rambutnya dikeramasin sama Teteh, tapi sayangnya mukanya malah dicoret-coret adeknya =3=
Adeknya itu anak bungsu, karena tak ubahnya keluarga kami dan kebanyakan keluarga disini, keluarga mereka juga hanya memiliki dua anak. Anak ini sebaya sama saya, tapi sayangnya dia anak cowok. Yah, meskipun demikian, waktu kecil kami main bareng kahahhaa#dor. Meski sekarang kalo ketemu lebih banyak diemnya karena sebagaimana problem saya sama temen lama saya yang lain, terutama anak cowok, bingung mau ngomongin apa#plakk. Kalo kerumahnya biasanya kami main lego yang justru dibentuk jadi denah rumah. Beliau ini biasa saya sapa Mas(dulu), atau Aa(ngikutin adek saya dan anak anak lain di komplek ini), atau Kak (karena kami sempat satu sekolah) karena memang setahun atau hanya beberapa bulan lebih tua dari saya.

Rumah Nomor 10 (pokoknya yang dulu warnanya biru)
Dulu saya nggak terlalu akrab sama keluarga di rumah ini, padahal sebenernya mereka pindah kesini lebih dulu dari keluarga saya. Kenapa? Karena dulu orang tua di rumah ini, keduanya bekerja dan anak mereka yang paling besar dititipkan ke orang. Setelah sang Ibu yang biasa saya sapa Bude juga itu keluar kerja dan punya anak lagi yang sebaya sama adek saya, barulah saya jadi lumayan akrab sama keluarga ini. Anak sulungnya dua tahun lebih tua dari saya, baru lulus tahun lalu, tapi sekarang udah kerja. Bapaknya, yang juga saya panggil Pakde satu-satunya yang bisa main gitar di komplek ini dan suka main pake gitar saya kalo lagi ada acara komplek. Anak bungsunya sering main sama adek saya, kadang juga sama saya malah karena di komplek ini saya dikenal sebagai teman main yang baik bagi anak kecil. Soalnya kalo lagi iseng biasanya saya buatin mereka baju barbie. Belakangan malah si bocah yang jadi sohibnya adek saya ini minta ajarin nyanyi kalo mau praktek disekolahnya. Mereka tinggal di sebuah rumah dengan berupa-rupa pohon buah dan berupa-rupa unggas.

Rumah nomor, gak tau#plakk
Terdiri dari seorang ayah, ibu, dua anak perempuan yang hanya berselisih dua tahun sehingga sering di’kembar’kan oleh orang tuanya, dan seorang anggota baru yang baru berusia beberapa bulan. Mereka tergolong anggota komplek yang terhitung baru dibanding tiga rumah sebelumnya. Mungkin belum sampai tujuh tahun.
Anak perempuan mereka yang pertama dan kedua adalah bintang bagi SD mereka di angkatan mereka masing-masing. Sedangkan yang bungsu belum mencatatkan apa-apa haha.
Mereka merawat banyak tanaman, pernah membuka toko stasionarry di awal kepindahan mereka dulu, dan pernah berternak lele. Ibu mereka juga terampil dalam beberapa keterampilan seperti sulaman kristik dan manik-manik.
Beberapa tahun yang lalu, kedua anak tertua mereka masih menjadi teman main saya dan adik saya meski usia kami agak jauh terpaut, namun tidak lagi sekarang.
Dalam fase itu, memang umumnya orang-orang menarik diri dalam dunianya sendiri. Dan fase tersebut masih berlangsung sampai sekarang.
Akhir-akhir ini, anak bungsunya tumbuh secara pesat dan mulai mencatatkan beberapa keahlian seperti telungkup lalu bangun lagi, dan duduk.

Rumah nomor entahlah juga, yang disamping makam.
Tergolong keluarga muda dengan anak-anak yang masih kecil jika dibandingkan dengan keluarga lain di kompleks ini. Lagi-lagi juga dengan dua anak perempuan. Anak pertamanya baru kelas satu SD, tapi mainnya bareng sama adek saya dan anteknya si bungsu dari rumah biru tadi, dan oleh karena mereka berdua lebih tua, jadi si anak sulung keluarga ini justru sering di bully. Sebagaimana anak kecil pada umumnya bocah ini kepoan dan demen ngeluyur panas-panasan. Tapi meski sekarang jadi yang paling muda diantara geng adek saya, anak ini yang paling berani karena kalo ngaji ataupun tarawih, yang notabene dilaksanakan pada petang hari, anak ini kerap berangkat sendiri. Luar biasa, atau jika dipikir secara sederhana, ia hanya belum mengerti rasa takut itu apa.
Karena mereka keluarga yang paling muda, ayah dan ibunya kami panggil om dan bulek, dengan embel-embel nama sapaan di belakangnya. Ayahnya, tak ubahnya ayah-ayah lain di kompleks ini juga seorang karyawan swasta. Sedang ibunya banyak berkecimpung di bisnis. Terakhir, beliau menjadi kreditor baju yang diminati warga kompleks, termasuk ibu saya -_-.
Yang menarik dari keluarga ini anaknya yang bungsu. Perempuan, dan usianya mungkin hanya sekitar 3 tahun. Bocah ini sangat mudah dan menyenangkan jika digoda, sedikit tindakan saja cukup membuat bocah ini mewek lalu lari pulang, dan itu kepuasan tersendiri bagi saya yang notabene adalah pihak yang menggoda. Tapi uniknya terletak dimana ketika kita melepaskannya, atau seketika menghentikan hal yang mengganggunya, ia akan seketika itu pula menghentikan rengekannya :3


Dan, yah, begitulah, sekelumit kisah kehidupan yang selama ini berotasi dalam komplek ini. Meski bukan hunian yang sarat penduduk, para penghuni komplek ini tetap membawa warna- warna tersendiri. Mereka atau yah, kami, datang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda, menggeluti dunia yang berbeda pula, dan kini disatukan dalam sebuah komunitas sosial yang menuntut kami mengutamakan penuh toleransi. Tapi lambat laun, seiring dengan semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama disini, toleransi bukan lagi keharusan, melainkan pola yang tercipta begitu saja dari hubungan saling keterkaitan kami. Kecenderungan untuk saling mengisi, saling membantu, dan berempati, perlahan mengalahkan konflik konflik kecil yang kerap ada dan juga kata toleransi itu sendiri sehingga tanpa kami sadari, kini kami mendapati diri kami tak kurang dari sebuah keluarga.

Tahun ini jadi tahun terakhirku menetap secara berkelanjutan di komplek ini. Selepasnya rumahku memang masih disini, di tempat di mana aku bisa melihat langit sore dengan paparan yang sangat luas, tapi tak setiap hari lagi. Beruntungnya bukan hanya aku, tapi ada dua orang lain juga dari komplek ini yang akan bernasib sama denganku. Selepasnya, kembali ke tempat yang telah menjadi saksi atas kehidupanku empat belas tahun belakangan ini mungkin akan jadi jauh lebih manis.
Aku bahagia dan tak setitik pun aku menyesali tinggal di tempat ini.

Yuanita WP
29 Juni 2013





Saturday, July 27, 2013

Kau dan Aku, Aku-Kamu, Saya dan Anda, Gue sama Lo.

Siang tadi, saya mendapati pembicaraan yang cukup menarik mengenai kata sapaan bersama salah seorang sobat saya. Dia, memiliki seorang teman. Cukup akrab sampai mereka saling memanggil dalam kesempatan tak langsung dengan sapaan yang terdengar istimewa, dan dari sanalah ide ini menguar. Tapi jujur, dari hati terdalam, demi arloji melelehnya Salvador Dali, saya tak bermaksud menyinggung hati dan perasaanmu, andai kata dikau yang saya maksud membacanya.

Untuk menyapa anda sekalian, saya pernah menggunakan beberapa jenis sapaan. Yang pertama, kala saya masih luar biasa melankolis di SMP dulu, masa-masanya saya berkutat dengan lembaran merah muda yang kini menggulung lusuh penuh tanda tanya, memudar warnanya. Kala itu saya lebih senang menggunakan kata Kau dan Aku. Baik ‘Kau’ yang dimaksud itu Anda para pembaca, atau ‘Dia yang di Sana’. Entah kenapa. Sulit dipaparkan karena memang tak sistematik. Yang jelas, dalam suasana yang melambung-lambung, membahagiakan, membuat saya kecanduan banyak hal bahkan perasaan-perasaan menyakitkan sekalipun, ‘Kau dan Aku’ sangat cocok. Kesannya jauh tinggi, tak menapak ke tanah, atau tepatnya lupa daratan, tapi sekaligus anggun, penuh kecantikan bahasa, serta kepiawaian mimpi dalam andil merangkai kata. Sebagaimana novel terjemahan yang bukan lagi murni hasil racikan penulisnya, kata Kau dan Aku yang hampir selalu digunakan dalam novel terjemahan itu melukiskan sesuatu yang keren, tak pasaran, penuh ketinggian, sekaligus jauh dan imajiner. Pantas digunakan untuk seuntai prosa penuh perumpamaan, majas, dan pengagungan untuk lari dari kenyataan.

Yang berikutnya, Aku-Kamu. Ini sapaan yang paling tidak saya suka dalam tulis menulis. Entahlah, kesannya pasaran, yang kata anak muda sekarang ‘Mainstream’. Sapaan ini biasanya hanya saya gunakan untuk membangun sebuah obrolan tanpa passion dengan seseorang yang baru saya kenal. Well, Betawisme yang acap kali saya temui di lingkungan saya membuat ‘Gue sama Lo’ menjadi sapaan paling nyaman, merakyat, dan akrab tanpa jarak. ‘Aku-Kamu’ hanya basa-basi. Atribut kesan pertama yang mujarab dalam membuat calon kenalan kita akhirnya mengetahui tabiat asli kita secara perlahan, tak lebih dahulu menjatuhkan pada kita kesan buruk, dan akhirnya menerima kita sebagai manusia bar-bar yang ternyata tak terlalu buruk dijadikan teman.

Saya bilang tadi sapaan ini pasaran, ada yang mau protes? Oke, biar saya jelaskan. Orang baru berkenalan menggunakannya, orang pacaran juga memakainya meski mungkin hanya dalam versi yang benar-benar standar, karena dalam versi lanjutannya mereka akan saling memanggil dengan panggilan kesayangan khas dari setiap pasangan. Ada ‘Gajah’—eits jangan salah, ini bukan hinaan— yang merupakan panggilan sayang Chairil Anwar untuk istrinya. Ada pula yang lumayan umum seperti ‘Darling’, ‘Honey’—omigot—, ‘Sweety’ dan lain sebagainya yang sepertinya  sudah sangat ketinggalan zaman. Ada juga ‘Hime’ atau nama dengan embel-embel ‘-chan’ di anime. Ada juga ‘Dear’ dan ‘Baby’ yang terdengar masih bisa didengar dengan cukup normal di zaman ini. Tak ketinggalan Gaya Alay Asli Indonesia Seratus Persen Dahsy*t yang yaah, contohnya satu cukup, jika kebanyakan mungkin post ini tak pernah selesai. Miris, pendramatisiran kata ‘Baby’ menjadi Beybi, lalu mengalami hiperbolaisasi dan bermetamorfosa jadi Beiybih, untuk penyingkatan karena sms dihitung per-karakter jadi Beb, dan ketika sms tak lagi dihitung per-karakter, sapaan tersebut pun berakhir miris jadi ‘Beiiibbbbbhhhhhhhhh’ bahkan dengan lebih banyak lagi hurup ‘b’ dan ‘h’ didalamnya.

Yang jelas, FTV menggunakan ‘Aku-Kamu’, sinetron pun sama. Kalau itu film layar lebar, bergantung pada temanya, tapi setiap yang berhubungan dengan lika-liku romantika anak muda pasti juga menggunakannya. Di lagu? Aah, Band yang asal tenar makin banyak dewasa ini. Terkadang saya bingung dengan nada-nada berbau melayu yang mereka kemas dalam dinamika musik barat. Mungkin dikiranya itu kontemporer, tapi entah saya yang salah atau bagaimana, sensor seni di pojok otak saya belum menerimanya menjadi sebuah karya yang indah. Belum lagi lagu yang temanya cinta-cintaan melulu, dan hanya itu. Saya lama nian tak mendengar tema lain selain cinta-cintaan semenjak acara tangga lagu dan pemutaran video klip ‘Yeyeye Lalalala’ membabi buta menguasai jagad televisi. Sejak dulu, sesumbaran sok intelek dan sok berseni saya tentang lirik dan irama lagu-lagu sekarang sudah lumayan pernah didengar banyak orang. Saya bilang, sesuai dengan unek-unek dalam hati saya, kata-kata mereka samasekali nggak puitis. Ada istilah yang saya ciptakan yang namanya ‘lompat bahasa’, yakni ketika dalam suatu lagu, demi mencapai kesepakatan jumlah suku kata dengan nadanya, digunakanlah sapaan ‘Kau’, ‘-mu’, dan ‘Kamu’ yang jelas-jelas, telinga pun sudah mampu memvisualisasikan tanpa bantuan mata, kalau ada sebentangan jarak yang bila dirunut-telusuri akan sangat jomplang diantara kata-kata tersebut. ‘Kau’ dan ‘Dirimu’ mungkin masih memiliki kesan yang setara, tapi ‘Kau dan Kamu’ meski artinya kurang lebih hanya sama, tetap jauh berbeda. Kecuali dalam sebuah sinetron, tokoh tritagonis seorang anak manja yang kadang terlihat lebih ke memiliki kurang secara intelektual, bertemu dengan seorang sastrawan angkatan Balai Pustaka dalam lorong dimensi antar waktu.

Lanjut ke ‘Saya dan Anda’ sapaan yang paling sering saya gunakan dalam tulisan sekarang-sekarang ini. Pengalaman getir—tidak pahit, tapi cukup getir— yang saya rasakan soal lembaran merah muda dalam buku yang memuat kisah hidup saya, cukup membuat saya menyadari bahwa sebenarnya saya telah jatuh dari awan-awan surgawi yang melambungkan saya itu sejak lama. Sakitnya pun tak terkira, dan baru terasa akhir-akhir ini. Mungkin otot saya ada yang mencuat, keriting, terjepit, atau paling buruk, putus. Ah, semoga tidak. Yang jelas, pengalaman tidak baik yang awalnya manis luar biasa ini cukup membuat saya jera dan secara tanpa sengaja, tak lagi pernah berhasil membuka lembaran berwarna merah muda lagi.Tapi hidup tak untuk lepas dari cinta, kini apa yang dinamakan cinta itu beralih ke bentuk abstrak dari sesuatu yang nyata, yang melahirkan kritisme serta gugahan untuk bertanggung jawab atas masa depannya. Cinta kepada sesuatu yang mengakari rentetan kronik yang pernah ditulis di tanah ini, Indonesia. Sebuah panggilan sarat hormat dari negara saya, rumah saya.

Lembaran merah muda itu membuat apa yang biasanya mempontang-pantingkan perasaan orang, justru menebalkan perasaan saya. Saya tak pernah merasa peka ketika direndung hal yang satu itu. Yang ada justru menggila, melupakan rasa dan mendewakan sensasi, tak ubah orang kecanduan narkoba yang rela menyuntiki dirinya demi kenikmatan yang menyedotnya seperti jarum suntik gajah menyedot darahnya, padahal disuntik saja itu sudah sakit.

Kini saya jauh lebih realistis. Saya mendewakan kenyataan, berubah sekian banyak persen dalam beberapa tahun saja, ketika saya putuskan semuanya sudah berakhir dan luka ini tak sepantasnya diperdalam. Dalam kasus percintaan dengan masa depan banyak orang ini, juga ada rasa sakitnya. Cinta, tak pernah lepas dari yang semacam itu. Tapi rasa sakit itu membuat kian hari tekad saya semakin tak terbelokkan. Dan masa depan saya akhirnya tertambat pada dermaga penuh impian, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu Sejarah, di universitas yang namanya diambil dari sang Patih maha terkenal sepanjang masa, pengujar sumpah Palapa. Boleh dicek, saudara sekalian, ketika orang kita tanyai siapa patih Majapahit yang mengujar sumpah yang dijadikan nama satelit itu, pasti mereka jawab dengan mudah Gadjah Mada. Lalu berikutnya kita tanya siapa rajanya ketika itu? Tak sedemikian yakin saya akan ada yang menjawab Hayam Wuruk. Bahkan popularitas sang raja terkalahkan oleh patih-nya. “Hayam? Hayam naon? Goreng hayam, Ce’…”#dor

Kerealistisan itu yang membuat saya pada akhirnya mendaratkan obsesi pada hal yang berbau kewarganegaraan, kenegaraan, kesejarahan, dan yang lainnya. Dekat dengan tiga poros; sosial, politik, dan budaya, kadang-kadang hukum. Saya tertarik atas kelemahan negara ini yang kemudian justru seperti ditindas oleh warganya sendiri. Bukan main, tak sedikit orang yang menjelekkan Indonesia, dimatanya, orang tuanya, tetangganya, bahkan siapapun yang ditemuinya di manapun, di luar negeri sekalipun. Tak masalah jikalau ia adalah mantan pejabat bersih yang dituduh korupsi dan diganjar 12 tahun bui plus denda ratusan juta dan sudah putus asa akan hukum negara yang mengkhianati kesucian moralnya. Lain itu, saya sanggup terima. Tapi jika hal tersebut diujar oleh seorang anak ingusan karena dia menaruh obsesi hampir penuh gila pada seorang idola di negara nun jauh yang bahkan letaknya di sebelah mana Indonesia pun dia tak tahu sementara dia masih menghujat negerinya dengan bahasa Indonesia itu sendiri. Memalukan Bung. Mahluk macam itu harus diberi penataran P4 plus wajib militer tiga bulan.

Rentetan kasus yang memancing keprihatinan, simpati yang kian tercambuk dan membara, dan hasrat untuk selalu menulis membuat saya menjatuhkan pilihan pada sapaan lain ‘Saya dan Anda’-lah yang saya rasa paling pas hingga kini. Sapaan ini sangat diplomatis dan demokratis, memandang semua individu dan golongan dalam sebuah meja debat dengan derajat yang sama dan penghormatan yang pantas. Tak ada kata pasaran, terlalu anggun, atau barbar didalamnya, kecuali acap kali terkesan melampaui batas ke-baku-an tulisan seorang remaja tujuh belas tahun pada umumnya. Tapi saya bisa buktikan kok, andai kata anda sekalian tak malas membaca demikian bertele-telenya tulisan saya, mendalami maksud apa yang saya rangkai disana, saya selalu mengutamakan pembaca dan menempatkan mereka sebagai ‘Anda’ yang tak begitu saya segani, dan saya bukanlah ‘Saya’nya seorang perendah dari ‘Anda’. Soal strata, seprti yang saya katakan tadi, semua sama, dengan penghormatan pantas, pas.

Selain itu, golongan kata yang berada pada kolom tangga yang sama dengan ‘Saya dan Anda’ cukup untuk ukuran kebutuhan akumulasi dan manipulasi kata saya yang samasekali nggak terlihat intelek tapi secara ego kerap mentele-telekan sebuah kalimat demi rima, keindahan, dan implisitisme. Ia tak terlalu agung seperti ‘Aku dan Kau’ tak pula terlalu pasaran semacam ‘Aku-Kamu’, tapi tak se-barbar ‘Gue sama Lo’. Tengah, stagnan, dinamis, tenang, ah, sempurna. Dengan sapaan ini saya bisa menggombal, berkisah, sampai mengkritisi. Hah, hanya itu, yang jelas saya cinta yang satu ini, ‘Saya dan Anda’ memang yang terbaik.

‘Gue sama Lo’ yang terakhir. Atau dalam bahasa Betawi dengan dialek Kampung Pulo-Jagawana, lebih lumrah ‘Gua dan Lu’. Ini adalah kata terlarang ketika saya kecil. Di mana dibesarkan dalam atmosfer budaya Jawa Tengah yang mendayu-dayu membuat kata-kata tersebut menjadi terdengar sangat barbar, liar, dan tak beradab. Orang tua saya pun memblacklist-nya, dan setelahnya, jika keceplosan mengujarnya saya akan ditatar dengan nasihat dalam format omelan yang efeknya biasanya cukup membuat saya yang cengeng ini mewek.

Tapi atas nama maha dahsyat efek urbanisasi, lama kelamaan terjadi asimilasi yang damai antara suku pendatang dan yang didatangi. Kata-kata tersebut pun kian deras kami dengar, serupa dengan istilah lain seperti, ‘pangkeng=lemari’, ‘jaro=pagar bambu’, ‘sasak=jembatan’ dan yang lainnya. Kini sapaan itu bahkan sudah sangat akrab bagi orang tua kami. Kadang kala dalam sebuah gurauan atau malah kecaman saya menggunakan sapaan ini terhadap adik saya. Untuk ke teman, ini adalah sapaan yang paling friendly menurut saya. Ketika Anda adalah ‘Lo’ dan Saya adalah ‘Gue’, tak ada jarak lagi mengudara. Berkawanlah kita, karib, lekat, dan intim.




   Sekian, teruntuk Dikau, bagi Kamu, untuk Anda, dan buat Lo!