Trending Topics

.

.

Saturday, April 20, 2013

Akhir Pengembaraan di Negeri Asing

Bahagia rasanya bisa melihat dashboard blogger lagi~ Yeah it have been so long since our last meeting. Maklumi ya blogku sayang dan kalian semua pembaca yang budiman, saya baru saja menyelesaikan sebuah step mahafinal buat seseorang yang menempuh pendidikan wajib 12 tahun#sebenernya 11 sih hehe~. Apalagi kalau bukan UN SMA 2013 yang teknis dan soalnya sama-sama cespleng.
Rasanya lelah sudah kalau di detik yang membahagiakan ini saya masih membahas tentang UN, oleh karena itu saya tak akan memfokuskannya kesana lagi saat ini. Tulisan ini lebih mengenai review pengembaraan saya di negeri asing selama satu setengah tahunan belakangan ini.

Bulan Februari, masih masuk hitungan awal tahun 2012, nggak kerasa udah setahun lebih waktu berlalu setelah hari itu, dimana kekecewaan saya memuncak, emosi saya labil berat, dan saya merasa benar-benar dikhianati. Waktu itu kalo nggak salah hari Rabu, dimana besoknya adalah kali terakhirnya di SMA bagi saya untuk mengerjakan soal Geografi, salah satu mata pelajaran favorit saya yang shit-nya justru disandingkan dengan fiSHITka, karena bukan tidak pasti lagi saya bakalan masuk penjurusan tanpa nego ke kelas IPA. Dan bukannya belajar, saya malah menulis postingan Romeo-Juliet; Sekisah Romansa tentang Dunia Pendidikan Indonesia dengan berlinangan air mata. Yeah bung, itu salah satu postingan yang saya tulis dengan paling sepenuh hati, karena kesepenuh hatian saya dalam menulis, jujur, hanya muncul ketika sisi melankolis saya juga muncul#dor.

Andai kata seisi dunia ini mengenal saya sebenarnya, bakal ada tujuh ratus juta orang kena serangan jantung ketika tahu kalo saya, Yuanita Wahyu Pratiwi, yang selama ini dikenal sebagai seorang tukang meracau dalam debat meski kerap tak didengarkan orang, seorang nasionalis sejati, seorang History Freak, seorang siswi yang ketika kelas 5 SD hapal semua suku yang ada di Indonesia, alat musik, rumah adat, tarian daerah, mata uang dan ibukota negara, dan masih banyak lagi#maklumbacaannyaRPUL, seorang yang pernah dalam suatu forum debat dikasih nilai 27 dari 30 sama seorang S3 Filsafat Pancasila, seorang penggila IPS dan pembenci serta luar biasa tak berkualitas dalam hitung menghitung ini MASUK JURUSAN IPA.

Sejak bagi raport kelas satu semester dua selesai, saya secara resmi memasuki gerbang IPA yang bagi saya tak ubahnya negeri yang luar biasa asing. Di awal perjalanan saya terseok luar biasa, hampir sekarat, dehidrasi, dan menggelepar-gelepar tak berdaya karena saya dituntut beradaptasi terhadap atmosfer lingkungan yang pada hakikatnya memang 180 derajat berbeda dengan atmosfer lingkungan kondusif dimana saya sejatinya dapat tumbuh dengan normal, bahagia, dan sehat walafiat. Keseret-seret? Of course. 

Frustasi? Absolutely. Kalo bukan karena mengingat tanggung jawab saya sebagai yang mengambil pilihan untuk masuk program Akselerasi 2 tahun yang menyebabkan tanpa saya ketahui sebelumnya saya bakal masuk IPA, saya mungkin akan lari dari kenyataan. Akhirnya demi orang-orang disekitar saya, harga diri saya, dan masa depan saya, saya bertahan diatas segala kepayahan itu sampai hari dimana saya sebenarnya bisa dengan bahagia mengerjakan soal sosiologi dan geografi tapi justru dibuat pusing dan dipaksa bermain peluang dengan soal kimia dan biologi. Sekelumit pengembaraan yang berat, sangat bahkan, tapi, yaah… semua pahit manisnya terlihat cukup indah dari sisi ini, ternyata setelah saya telusuri lagi kebelakang, banyak yang saya dapatkan dari pengembaraan saya di negeri asing ini.

Dulu saya anak IPS sejati, dan sekarang pun, setelah satu tahun lebih tak lagi bersua dengannya, saya masih anak IPS sejati. Periode pengembaraan penuh perjuangan saya di kelas IPA justru membuat saya tahu seberapa besar cinta saya buat IPS sebenarnya, dan tentunya bukan jumlah yang diragukan lagi ketika setelah sekat tebal yang panjang ini saya lalui, saya masih mencintainya dengan sepenuh hati. Momen bersua lagi dengan IPS juga terasa jauh lebih manis dibandingkan mungkin jika hal ini tak pernah terjadi.

Ketika saya masih jadi anak IPS yang belum nyasar ke IPA dulu, saya terbiasa dengan atmosfer podium atas. Saya jujur, terbiasa menjadi salah satu dari deretan siswa berprestasi baik. Meskipun pada kenyataannya sejak kecil saya memang bukan anak yang rajin belajar. Saya bisa dapat nilai-nilai baik pada mata pelajaran mata pelajaran tertentu karena saya mempelajarinya tanpa sengaja, sebagian bahkan sudah seperti hobi, dan selama ini yang demikian tak masuk hitungan belajar. Tak ayal, nilai-nilai di mata pelajaran mata pelajaran tersebut pun mendongkrak rata-rata nilai saya. Padahal jika dilihat satu-satu pun, nilai hitung-hitungan saya tetap hanya pas-pasan. Bagaimanapun, berada dalam urutan atas, membuat saya kerap dijadikan patokan bagi orang lain. Otomatis, aspek lain dari diri saya pun menjadi acuan. Dan akhirnya atas dorongan dari orang tua saya, dan perasaan nyaman yang kemudian mulai saya rasakan ketika saya berhasil berdiri sedikit lebih tinggi diatas orang lain pun membuat saya candu. Dan tanpa sadar, saya jadi sedikit lebih berniat mempertahankan posisi tersebut.

Jadi penghuni podium nggak membuat saya menutup diri dari pergaulan dan pilih-pilih soal teman. Salah seorang kawan saya bahkan pernah bilang kalo saya ini mirip spons untuk urusan berteman, hanya menyerap olehan-olehan yang terkadang bahkan seperti berniat menciderai saya. Saya justru sering dikhianati dan dimonopoli daripada sebaliknya. Kenapa? Karena ada dua sisi dalam diri saya, seorang yang hanya bermain dan tak pernah belajar, dan yang mengejar yang terbaik yang ia bisa di bidang yang ia sukai, dan mulai juga bidang lain untuk mendukungnya. Kadang satu sama lain sangat tidak koheren untuk dapat muncul dalam satu sosok. Dan itulah mengapa tampang saya memang bukan tampang orang pinter sama sekali, sejak dulu, apalagi sekarang.

Semakin besar saya tumbuh semakin pula saya candu terhadap podium juara. Saya terus haus akan prestasi dan terus mencoba untuk meningkatkan kualitas potensi dalam diri saya. Karenanya, lama kelamaan sisi tukang main saya semakin menjauh hingga ketika saya jadi A, saya bukan B, dan ketika saya B, saya samasekali bukan A. Dan parahnya, kian kesini si A semakin resesif, hingga meski hanya dalam konteks mata pelajaran yang saya sukai saja, saya semakin menjadi pengejar kesempurnaan.

Sayangnya, semua hal itu ada masanya, bukan hanya pergantian posisi di kursi pemerintahan, melainkan juga pada hidup saya. Saya masuk IPA, dan inilah masa transisinya. Hampir keseluruhan dari pelajaran yang saya jadikan pijakan utama terenggut paksa, sisanya, granat dan ranjau darat yang dapat senantiasa memudarkan eksistensi saya. Kesempurnaan, podium atas, dan prestise yang selama ini saya dapatkan mendadak hanya jadi isapan jempol belaka, impian yang tiada pernah berbekas isinya. Sisi lemah saya semakin jadi bagian yang disorot, oleh karenanya, saya samasekali tak punya harapan lagi. Jatuhlah saya pada titik terbawah.
Ketika saya masih di SD dulu dan masih memegang track record yang baik, saya pernah menggumam asal mengenai bagaimana rasanya menjadi orang yang berada pada posisi bawah. Setiap hari dimarahi guru, dihukum karena tak mengerjakan PR, dan masih banyak lagi. Dan sepertinya, beberapa tahun setelahnya, saya kualat atas serapahan itu. Voila, jadilah saya benar-benar merasakan apa yang selama ini saya pertanyakan dalam benak saya.

Tapi jangan kira sepenuhnya saya hanya memendam kecewa, ada yang saya syukuri juga kok dari berada jauh dari podium ini. Berada hampir dua tahun di kelas IPA memanusiakan diri saya. Membeberkan kenyataan bahwa manusia itu terdiri dari dua hal, baik dan buruk. Jadi mereka yang selalu bertahan di podium mungkin keliatan sempurna, tapi sebenernya nggak juga. Berkat empat kali empat bulan di kelas IPA saya tau rasanya nggak ngerjain PR dan dimarahin guru tapi malah balik marah-marah, saya tau rasanya bengong melongo nggak ngerti apa yang ada di papan tulis, saya ngerti rasanya berjuang mati-matian demi sekedar KKM, bahkan menjadikan remedial sebagai hobi. Hal ini jelas memperkaya sudut pandang saya. Sebagai mana Hitler yang menemukan ambisi barunya ketika ia berada dalam titik terbawah hidupnya, saya pun demikian. Andaikata saya nggak pernah masuk ke kelas IPA, saya mungkin nggak akan pernah merasa sebegininya tersiksa dengan sistem pendidikan Indonesia, jadilah mungkin nggak akan pernah ada tekad untuk memperbaiki sistem yang bobrok ini dari dalam diri saya. Jiwa nasionalis saya nggak akan bangkit sekokoh ini jika bukan karena tempaan siang malam dari para rumus-rumus itu.


Bagaimanapun saya mensyukuri apa yang saya dapat saat ini. Jalan yang saya pilih tidaklah salah, karena menurut saya tak ada jalan yang benar-benar salah. Kadang kala ada jalan yang amat menyiksa, tapi memberikan peluang begitu besar untuk bangkit, ada juga jalan tenang yang menjebak untuk tak bisa lari kemana-mana, ada lagi jalan yang sempurna yang membuat seseorang yang menelusurinya lupa diri. Dalam setiap persimpangan, semua jalan adalah alur cerita baru lengkap dengan klimaks dan penyelesaian masalahnya, pahit dan manis selama kita hidup akan selalu ada, jadi saya kira seseorang yang cukup dewasa pola pikirnya akan bisa menerima yang demikian. Alur cerita itu akan berjalan sebagaimana kita menanggapinya, dan yang patut kita lakukan hanya berusaha dan berdoa, tak lupa juga menikmati dan mensyukurinya, karena sekecil apapun usaha kita, Tuhan pasti menghargainya.