Trending Topics

.

.

Thursday, November 29, 2012

Peta Hidup


Saya melihat istilah ini pada blog seorang kakak kelas saya hampir setahunan yang lalu. Pertamanya kalian tahu bagaimana respon saya? Saya terperangah, jujur. Sejauh yang saya tahu, sosok kakak kelas saya itu memang termasuk orang yang teladan. Tapi saya hampir tidak pernah mengira jika orang se-kredibel dirinya pun ternyata punya kebiasaan yang semacam ini; menetapkan peta hidup. Karena esensi sebuah konsep peta hidup terlampau tabu dan sangat-sangat tidak terpikir oleh saya selama ini. Hidup bagi saya terlalu remang untuk dipetakan, jalan kedepan terlalu rumit dan bercabang. Mungkin itu yang saya pikirkan ketika saya masih belum sadar bahwa pada dasarnya, kita, setiap yang hidup, berhak dan mampu menentukan arah kehidupannya sendiri.

Kini saya kira saya tahu apa yang ia niatkan dengan menulis peta hidup itu. Hidup adalah serangkaian pilihan, dan tugas kita untuk memilih. Jadi peta hidup adalah pemetaan dari pilihan pilihan yang kita pilih, dengan kisi-kisi persimpangan dari lubuk hati sendiri. Selama ini saya selalu saja memilih tanpa orientasi. Hidup bagi saya melulu hanya soal tantangan dan kejutan, padahal nyatanya hidup adalah perjuangan. Kerap kali saya memilih hanya atas penilaian sesaat, dan akhirnya pilihan itu berhujung pada sebuah tantangan yang kebanyakan pada akhirnya memang berhasil saya taklukan.

Namun kali ini saya akan mencoba cara yang berbeda. Sudah bukan waktunya lagi buat saya untuk coba-coba. Tantangan yang terakhir saya hadapi sebagai akibat dari pemikiran saya yang pendek dalam memilih nyatanya cukup membuat saya pernah memiliki niat untuk putus asa. Dan untuk waktu hidup saya kedepannya yang amat berharga, saya tak ingin mengulanginya. Oleh karenanyalah saya kemudian mencoba untuk menerapkan konsep peta hidup ini dalam hidup saya.

Peta hidup sendiri bukan sekedar impian yang terkadang hanya berakhir di awang-awang tanpa realisasi, peta hidup justru soal serangkaian misi yang menunggu untuk segera dilengkapi dengan visi untuk kemudian diwujudkan dalam sebuah realisasi yang konkrit. Jangan berpikiran bahwa dengan menetapkan peta hidup ini kita menyalahi rute hidup kita yang sudah ditetapkan Tuhan, toh, tak siapa tahu kedua peta itu ternyata memiliki banyak kesamaan. Peta hidup adalah bagaimana kita mengajukan proposal impian kita kepada Tuhan dan disetujui atau tidaknya, semuanya bergantung pada sampai sejauh mana keseriusan yang kita punya. Semoga saja apa yang saya tetapkan hari ini di hati saya akan menjadi rute hidup saya yang sebenar-benarnya, yang tak mengecewakan dan bisa membuat saya sukses menjadi individu yang berkembang semakin baik, individu yang bisa berkontribusi tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga orang orang disekitar saya, negara saya, dan dunia.

Amin

Wednesday, November 28, 2012

Menguak Makna, Bukan Sekedar Definisi


Hampir sebagian besar waktu-waktu luang saya di tahun ini saya gunakan untuk berpikir, lalu kemudian menuliskannya dalam selembar dua lembar testimoni pribadi. Sebenarnya tak serta merta pribadi juga, toh rangkaian testimoni-testimoni itu justru saya muat di blog saya, sebuah situs komersil yang bisa diakses oleh siapa saja, meski pada kenyataannya tak siapa saja datang kesana. Yah, niat saya bukan apa-apa, hanya ingin berbagi kisah, dan mengajak anda sekalian berdiskusi lewat hati, membagi pengalaman yang siapa tahu bisa memberi anda sekalian inspirasi meski tak jarang testimoni yang saya tulis justru soal kegundahan hati.

Namanya juga remaja, yah… begitulah, usia saya baru menginjak enam belas tahun tapi kerap kali saya malah sok berfilosofi. Sebenarnya itu semua bukan filosofi, itu semua hanya kesimpulan-kesimpulan, serabut benang merah yang masih teramat tipis yang hendak saya kumpulkan satu persatu, berharap suatu saat nanti saya bisa merangkainya menjadi sebuah kesatuan yang terang, utuh dan kuat, yang cukup untuk menguntai serangkaian kisah hidup saya. Saya hanya seorang pencari jati diri yang begitu ingin tahu soal seluk beluk dunia ini, ritme suaranya yang teramat rancak, dan juga pola dinamikanya yang terlampau rumit untuk saya terka dalam detik demi detik yang sekarang.

Tahun ini jugalah merupakan tahun perjuangan, tak ubahnya dengan tahun lalu juga pasti tahun depan. Tahun lalu saya lulus dari SMP dan menempuh ujian masuk SMA, tahun ini saya dijebloskan di kelas IPA yang tak saya kehendaki sehingga waktu setahun rehat dari momok ujian berskala Nasional samasekali tak berfungsi sebagaimana mestinya. Tahun ini justru berat luar biasa, bagai mahluk berinsang yang diseret ke daratan, sampai detik ini pun saya masih menyesuaikan diri untuk bernafas dengan udara yang demikian kering kerontang, tanpa IPS, air saya, sumber kehidupan saya. Sedang tahun depan, lagi-lagi saya harus menempuh ujian Nasional, parahnya dengan kualifikasi sebagai penghuni kelas IPA, —padahal ability saya disana nol besar— juga ujian masuk universitas dan sebagainya.

Anda ingin tahu rasanya terabaikan? Rasanya jadi orang yang tak bernilai? Rasanya berada dalam posisi bawah? Rasanya jadi kaum marginal? Rasanya jadi bodoh? Anda bisa tanya pada saya karena kurang lebihnya setahunan ini saya kenyang mengalaminya. Peran saya ditiadakan, begitulah kenyataannya. Pernah, dalam suatu masa yang sebelumnya saya memang tetap memiliki kekurangan seperti apa yang ada pada diri saya yang sekarang tapi saya punya kelebihan yang cukup disoroti, yang cukup dibutuhkan dan dilirik orang banyak, yang akhirnya cukup mengangkat nama saya dan menutupi kebobrokan sisi lain dari diri saya. Tapi kini lain halnya, semua masa keemasan itu terkubur bak atlantis hanya oleh satu tahun singkat yang kelam. Semuanya berbalik sarkastik dan tajam ketika yang publik soroti kini hanyalah kelemahan saya, dan yang menyebabkan itu semua tak lain adalah karena tidak diperkenankannya diri saya untuk memilih jalan yang saya kehendaki. Sungguh sebuah kenyataan yang membuka lebar pintu penyesalan bagi diri saya, andai kata saya orang yang hobi menyesali diri. Bagaimana tidak? Kenyataan itu seakan mengatakan secara gamblang pada diri saya bahwa saya bisa menjadi pemenang di jalan yang satunya —jalan yang seharusnya saya pilih— bukan menjadi pecundang yang terbuang di jalan ini.

Di masa lalu yang keemasan itu, ada kalanya saya menemui satu, dua, bahkan banyak masalah pada bidang yang merupakan kelemahan saya, tapi bukan masalah karena nilai saya di bidang lain yang menjulang lah yang banyak berperan dalam akumulasi keseluruhan. Ada saatnya saya juga remedial pada waktu itu, tapi ada saatnya saya maju kedepan, suara saya didengar, dan diapresiasi. Sementara saat ini saya terus menerus dibungkam oleh ketidak berdayaan dan ketiadaan kesempatan untuk berbicara. Bahkan setelah menghadapi masalah yang sedemikian besar dan bertubi-tubi, saya hanya butuh ruang kecil untuk menenangkan diri, tapi sayangnya ruang-ruang tersebut sangat jarang saya temui dan sekalinya bertemu pun belum tentu saya dapat bersua dengannya, persis seperti hari ini.

Tapi saya bersyukur, Tuhan masih memberi saya pengelihatan hati yang cukup jelas untuk menyadari makna dari semua ini. Bahwa hidup memang tak sempurna. Ada kalanya kita menganggap seseorang di depan sana sebagai sosok yang sempurna, melenggang lurus dengan mata tertutup dikala kami tersesat terbelok-belok, berlari cepat dikala orang lain penuh peluh terseok seok, namun memang inilah yang namanya hidup. Seseorang bisa saja sempurna di satu sisi, namun tidak bisa di semua sisi, dan tidak akan ada orang yang seperti itu. Bisa jadi, boleh kita tak henti memaki, mengumpat, dan menggunjing takdir ketika kita temui sosok manusia yang sedikitpun tak punya cela. Terkadang kesempurnaan pada diri seseorang lain yang kita pandang bersinar hanya sekedar ilusi oleh kedengkian kita, ketidak mampuan yang melahirkan kecemburuan, padahal mungkin saja dalam posisi dan situasi yang sama kita memiliki suatu hal yang tak orang itu miliki. Itu yang seharusnya kita cari dan syukuri.

Soal konsep ini, saya pun masih mencari. Mungkin ada kalanya jika saya sudah jadi 
cendekiawan ketika tua nanti, saya bisa berbagi pengalaman soal ini dengan lebih bijaksana lagi. Tapi, andai kata kata-kata saya disini masih kurang bisa diterima mohon dimaklumi, saya masih belum tahu apa-apa. Setiap orang memiliki kesempurnaannya sendiri, pada satu orientasi yang semestinya ia tuju. Mengapa ada orang yang berhasil dan gagal? Itu adalah karena kadang kala orang tak bisa mengartikan tujuannya sendiri, tak bisa menelaah kedalam hatinya sendiri, tak bisa mengerti soal perasaannya, keinginan murni dari dirinya sehingga ia salah dalam menentukan orientasinya. Orang yang berhasil adalah orang menuju kepada orientasi yang sesuai dengan jati dirinya.

Tapi baik kegagalan maupun keberhasilan, keduanya bukanlah hal yang kekal. Bukan sebuah hukum atau fonis yang tak lagi bisa dianulir. Kedua hal yang terlihat berseberangan itu sesungguhnya hanya merupakan standar. Toh mau kita berhasil atau gagal, yang harusnya kita lakukan di langkah selanjutnya adalah melampaui seberapa baik ataupun buruknya hasil kita di waktu yang lalu. Jika kita gagal pada kesempatan yang lalu, kali ini adalah saatnya kita untuk mengejar ketertinggalan kita, juga bila kita berhasil di kesempatan yang lalu, ini adalah saatnya kita untuk menjadi lebih berhasil. Karena berhasil sekali tanpa pernah sedikitpun beranjak naik dari standar keberhasilan kita yang sebelumnya juga tak bedanya dengan gagal kan? Gagal untuk menjadi lebih berhasil

Hidup ini perjuangan, bukan persaingan. Kita tak diminta mengungguli seseorang untuk dapat berbahagia dunia akhirat bukan? Jadi kita tidak hidup untuk saling mengungguli. Saingan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, satu-satunya yang harus kita lampaui adalah keberhasilan yang pernah kita capai, hingga dengan demikian, kita bisa menjadi individu yang terus berkembang, yang terus belajar dan terus bermetamorfosis kedalam kelas yang lebih baik.

Mungkin, menganggap hidup sebagai sebuah perjuangan memang terdengar berat dan memeras banyak hal, tapi lain halnya jika kita tahu betul apa yang kita perjuangkan. You know, perjuangan bukanlah sebuah tuntutan, tapi sebuah harga mati pembelaan. Perjuangan yang didasari dengan keinginan hati yang kuat, yang dibubuhi semangat yang tak pernah padam dan disemarakkan oleh warna-warni cinta. Dan sampai sekarang saya masih ada dalam perjalanan untuk mengumpulkan kunci-kunci perjuangan saya. Yang jelas detik ini saya sudah tahu bahwa Tuhan saya, orang tua saya, dan negara saya lah yang menjadi prioritas saya dalam berjuang.


May happiness always on my path...

Wednesday, November 07, 2012

out of sight, out of mind, cruelly, just six months left!


SMP Negeri 1 Cikarang Utara. Yaampun, ternyata segala macam kisah saya disana telah lebih dari setahun berlalu. Soal segerombolan liar pemimpi dan first… ah sudah!

Map merah. Yohooo~ sudah delapan belas bulan berlalu sejak hari Sabtu itu, dimana secara berbondong-bondong kita mendaftar ke sekolah yang sudah seperti satu yayasan dengan SMP kita ini. Yeah… mungkin banyak di luar sana yang menganggap kita tengah berkacak pinggang di depan mereka dengan map-map merah itu. Tak tahu saja mereka kita sedang menjajal takdir~

SMA Negeri 1 Cikarang Utara. GOD! Ini sekolah yang sudah saya lewati semenjak saya pertama kali menginjakan kaki di Cikarang tahun 1999 yang lalu. Semasa SD saya mendengar sekolah ini cukup punya kredibelitas yang tinggi, tapi entah dapat sombong dari mana, saya merasa sebagian takdir saya ada di sekolah yang belum pernah saya masuki sampai hari pendaftaran itu.

048. Nomor test masuk SMAN 1 Cikarang Utara saya. Juga nomor yang tertera di amplop informasi yang saya terima yang mengatakan bahwa saya diterima di kelas akselerasi-nya sekolah ini.

MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik), wow! Seminggu berat yang sudah berlangsung lebih dari setahun yang lalu. Misi saya kala itu melewatinya tanpa meninggalkan jejak memalukan apapun, dan ternyata, berhasil!

Kelas belakang ruang osis, samping tangga ke lab komputer, dekat toilet. Percaya atau tidak, jika kelas saya semasa SMP angka belakangnya tidak berubah yakni 7.6 (kelas MOS), 7.6 (kelas resmi), 8.6 dan 9.6, sekarang ruang kelas saya yang tak berubah semenjak MOPD. Semasa SD, variabel kelas saya juga tidak pernah berubah (I.A sampai VI. A). Entah ini bermaknakan apa, yang jelas saya yakin itu baik.

CI. 1 angkatan pertama —karena CI sebelumnya hanya terdiri dari satu kelas—. Kelas Bhinneka yang menaungi saya hingga detik ini. Berisikan para ahli dan maestro di bidangnya masing-masing, tapi kerap terperangkap remedial*bah*. Punya masa lalu yang pelik, tapi ternyata kita sanggup bertahan ya? Hebat juga~

CI angkatan kedua. Itulah kami, CI.1 & CI.2. Sepasang kelas yang saban hari mojok di deket toilet. Ya, tempatnya memang disitu, mau diapakan lagi~ Kami adalah teman yang sekaligus partner kerja. Tak jarang kami dikolaborasikan untuk memenuhi suatu tugas. Kami juga kerap mengadakan event bersama dan tak terhitung rasanya berapa lembar foto yang menjadi dokumentasinya. Tak terasa memang, tapi haha, dua jenjang kelas telah kita lalui disini. Sepertiga dari hari-hari di SMA yang kata orang ‘wah’ itu.

Jurusan ilmu alam, berat sekali, tapi ternyata sudah setahunan ini anda menaungi saya ya? Mendalangi segala macam penyiksaan atas diri saya~ Tapi, ya sudah lah, toh tinggal sedikit lagi, sedikit lagi sampai saya akan bersua kembali dengan my dear ilmu sosial~

Dan kalian, dari kesemua uraian diatas, intinya kurang lebih hanyalah sama. Menegaskan bahwa hampir, hampir tak terasa. Segala tekanan dan waktu yang berjalan lama seolah mengebiri kami saat ini. Sudah dua pertiganya, sudah empat semester sepanjang 4 caturwulan yang kita habiskan disini. Dan artinya hanya enam bulanan lagi waktu yang kita punya untuk kiranya bersua di sekolah yang melatari berbagai peristiwa ini. Berbagai peristiwa ketika kita membunuh waktu bersama, menghasilkan karya hebat bersama, dan berjuang bersama.

Jika satu setengah tahun saja sebegini singkatnya, akan jadi apa enam bulan yang tersisa? Terlebih ini bukan lagi hanya soal lulus dan mencari sekolah baru, tapi untuk betul dinyatakan lulus dengan mencari atau tidak sebuah sekolah baru. Jenjang wajib belajar yang pemerintah tetapkan selama dua belas tahun itu nyatanya hampir sudah kita habisi bersama. Dan hanya enam bulan yang tersisa.

Kelas enam SD, saya dimintai selembar foto dari sepaket foto berklise yang sudah dibagikan sisa keperluan SKHUN, ijazah, sertifikat dan lain-lain. Kata guru saya, itu untuk NISN, KTP-nya pelajar yang baru digalakkan tahun-tahun itu. Waktu itu, beluai juga bilang begini, “Nanti dilaminating pas pulang, ini kartu penting, KTP-nya pelajar, ini berlaku sampai nanti kalian sudah bukan anak sekolah lagi, sampai lulus SMA.” Waktu itu dengan konyolnya saya berpikiran bahwa mungkin saya tidak sanggup untuk menjaga kartu tersebut sampai tiba waktunya kartu tersebut sudah habis masa berlakunya. Toh saya ini teledor, banyak barang bahkan yang besar yang sudah saya hilangkan tanpa pernah ditemukan kembali, apalagi benda sekecil kartu ini. Lagipula waktu sampai saya lulus masih begitu lama, sama lamanya dengan yang hampir saya habiskan di SD kala itu. Tapi gilanya, kejamnya, ketika saya masih ingat betul apa yang terjadi di hari pembagian NISN itu, saya masih memiliki kartu tersebut, dan masa berlaku kartu tersebut hanya tinggal enam bulan lagi. Waktu yang saya kira akan sangat lama ketika itu hanya bersisa enam bulan lagi!

Lain halnya jika dilihat dari sudut pandang yang ini. Masa SMA, dengan klisenya orang biasanya berkata bahwa itu adalah masa-masa sekolah yang paling indah. Merasa jadi remaja sekaligus seorang siswa seutuhnya, aktif dalam berbagai forum, bebas berprestasi, dan tentunya soal cinta-cintaan yang katanya bukan cinta-cintaannya anak kecil lagi, bitter-sweetnya pacaran dan lain sebagainya, tapi poorly, itu semua nonsense buat saya. Masa SMA saya mengalami pemadatan jadi dua tahun, jadi tak ada acara buat kami untuk aktif di forum forum lain selain di forum belajar dua tahun yang sudah kadung menuntut kami untuk hiperaktif ini. Dan lagi soal cinta-cintaan. Haah… entah, sepertinya setelah kisah pertama yang panjang itu, serabut syaraf saya yang bertugas mengaktifkan hormon yang memancing perasaan tersebut membeku sementara. Sepertinya terlalu kecewa juga tidak, saya sudah rela jikalau harus melepasnya pergi tanpa tilas apapun untuk saya, sekalipun kiranya jika ia berkenan untuk menoleh pun saya masih bahagia. Mirisnya setelah kita tak satu sekolah lagi, setelah perlahan suasana beku diantara kita akhirnya mencair, perasaan itu terlampau jauh untuk saya raih kembali. Mungkin baginya Ia telah mengudara pergi. Sekian banyak komponen dalam diri saya yang terbiasa untuk menciptakan reaksi kombinasi yang begitu ajaib, penuh kejutan, dan meledak-ledak itu perlahan tapi pasti terus menonaktifkan diri. Dan belum ada yang bisa memicunya untuk bekerja kembali hingga detik ini.

Pahit atau manis, menyenangkan atau tidak, itu hanya standarisasi relatif yang bisa saja mengkamuflasekan diri jadi hitam atau putih dalam pengertian masing-masing orang. Yang jelas saya rasa meski tak pada umumnya masa SMA saya yang hanya bersisa seujung jari ini cukup menyenangkan juga. Toh, saya suka menjadi berbeda dari yang lain. Masa depan saya adalah karpet merah yang terbentang jauh dan tak dapat saya lihat dimana ujungnya. Selepas ini, saya tahu akan lebih banyak lagi persimpangan yang saya temui, tapi saya tak perlu khawatir akan hal itu. Saya punya Tuhan yang menjanjikan hal baik kepada hambanya yang berbuat baik dan berusaha semaksimal yang ia bisa, saya punya keluarga hebat yang akan selalu menjadi tempat saya kembali dan melupakan segala penat yang saya dapati di luar, dan saya punya kekuatan dalam diri saya, afirmatif positif yang amat ajaib, yang akan membuat segalanya sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Jadi jika saya anggap ini semua akan jadi menyenangkan, semua pun akan menyenangkan sebagaimana mestinya, seberat apapun persoalan yang harus saya hadapi kedepannya. Amin.



Future is getting closer, and there’s no way for me except face this one. I can’t run away whatever I do because this is my destiny, and also the right time for me to beginning my struggle to be someone valueable for my family, my country and this world. No matter what happen I’ll go my way and write my name by my own hand as a history.

-Yuanita WP-
6 November 2012