Trending Topics

.

.

Tuesday, April 24, 2012

Hapily Ever After


Long time without any post =,=

Because of that, now I post this pic. Is there any freakness you can find here?
Of course yes I think.
okay, it's isn't a special picture, just my amateur draw in SAI. But what I like here is the colour. I've mentioned more than once if I really bad at colouring. That's why I just draw many line art with my hand. There's no a full coloured picture I've made that feels nice to see. Everything I coloured no more than bad I think.

In this picture, I didn't do any colouring, but I just not draw like ussual. I don't pick black  over white, but its rose's pink over black.

Both are colours I'd really love to see

I think I also hide any other meaning behind it, but I am not really sure that...
I can understand it well


Okay, too freak here!
I think by this picture I just want to hold tighter my memorries about many fairy tales I've heard off,  I've watch off, I've read off..
About a Prince and a Princes, their love story, and their lovely clise life story..
There's a meaningfull words I got from those stories,
That is...


Ah, you all might be ever heared it more than once in your life,

the sentence sounds like this


"And life hapily ever after..."

Whatta lovely! but, can we also feels that?
Must we become a princes of a fairy tale to have that?

Not really, you can make it sure by your own hand.
 you can do it by:

feels every good side in everything come to your life,
be grateful of that,
Love yourself and your life,
thinks that all you have is the best you can have along your life in this temporary world, and I am sure that if you've done all of mentioned above,

You'll be life hapily ever after!

Let's try this at home!

Regard,
Yuanita WP
-2012-

Saturday, April 21, 2012

Sang Pendiri Singgasana



 Buaian angin di negeri nan asri
Menyembunyi kisah kelam disana sini

Dan salah satunya berlakonkan kami

Berlatarkan suatu waktu sebelum saat ini


Kala itu kelam meraja, kelabu menguasa

Tak ada setitikpun bias cahaya

Bagi kami yang terpatri mutlak dalam sangkar emas sarat ironi

Bagi kami yang tak punya daya mereguk manisnya mimpi


Bagai tetangkalan kembang di pekarangan

Kami tumbuh, mekar, lalu menyerbakkan wangi

Namun suatu ketika, dalam waktu dekat yang pasti

Raga-raga kami hanya akan ditukas
Dirangkai, dibeli, lalu dibiarkan layu dan mati
Hingga habis sudah kisah kami
Tanpa tilas yang dapat ditelusuri


Namun datangnya dirimu mengubah gores semu takdir kami

Meluruskan lengkung-lengkung tak beruntung di telapak tangan kami

Mengeluarkan kami dari kekabutan asap dapur pagi hari

Membawa kami mengenal arti lebih dalam diri kami


Kau bukan turunan surgawi

Tapi jelas kau bawa pergi gelap dari sisi hidup kami

Kau dengan sekian besar asamu, wujudkan angan kami



Kini adanya, berpuluh tahun setelah masamu

Harum perjuanganmu yang mengabadi dalam kisah masih tereguk oleh kami

Masih menyeruak di seluruh penjuru negeri ini



Dan harus kukatakan,

Kini bukan hanya berhembus angin yang penuh tipu dan menyembunyi

Melainkan kini, disini, aku rasakan wangi namamu yang dihembuskannya
Sepanjang masa di bumi,
Selama belum runtuh singgasana ini

Singgasana yang kau bangun untuk kami

Untuk setarakan harga hidup kami

(21/4/12)




Yoooaa~
Apa kabar semuanyaa?~
Kali ini, tentu anda sekalian sudah dapat mengendus(?) maksud saya mengepos puisi tadi di momen ini. Oke, izinkan saya sedikit mengingatkan dulu, siapa tahu bukan, anda lupa tiba-tiba. Hari ini hari Sabtu tepat bertanggalkan 21 April, ada yang ingat ini hari apa?




Eh, Sabtu?
iya, iya… tadi sudah saya bilang jika sekarang memang hari Sabtu. Selain itulah, ini momen penting lhoo~




Iya?
Sehari setelah peringatan hari lahir Adolf Hitler?
Aaah, oke, satu petunjuk lagi, ini tak lain adalah tentang Negeri kita sendiri, Bangsa kita sendiri. Bukan bangsa Indo Jerman, ras Arya, atau Nazi.



Ah, iya?
Lupa?

Oh, ayolaah…





Ini..
HARI KARTINI!, sekali lagi, HARI KARTINI~
Sudah ingat kan? ^^


Oke, saya terlalu berlebihan. Anda semua mungkin kurang lebihnya tau, ingat, bahkan memperingati dengan sangat antusias momen ini. Tak mungkin kan, salah satu lagu wajib nasional terpopuler yang sering kita lantunkan semasa SD kita lupa begitu saja. Tak mungkin juga bahkan jika kita sebagai bagian dari bangsa ini, sebagai penyusun ruas-ruas rusuk negara ini, tak mengenal sesosok Hero yang satu ini. Yap, terutama saya disini sebagai seorang perempuan, saya menyatakan teramat kagum pada tekad, kegigihan, dan ide yang luar biasa hebat dari seorang Kartini yang bahkan hingga kini, berpuluh tahun sudah sejak perjuangannya yang lalu, masih bisa kita reguk bersama manisnya.

Modernisasi itu pantas dikaitkan betul dengan isu emansipasi saya kira. Sebagaimana arus modernisasi yang menderas sekarang ini, saya pikir itupun terjadi karena emansipasi kaum perempuan kini bukan lagi hal yang semahal dulu. Di negara maju, angka kelahiran cenderung lebih rendah dibanding angka kematian, begitu kata contoh dari piramida tua angka pertumbuhan penduduk dalam Geografi. Dan kenapa itu terjadi, tak lain adalah karena adanya emansipasi tadi. Perempuan dengan bebas bisa memiliki pekerjaan, dan meraih hak yang sama dengan kaum lelaki dalam dunia kerja. Tak lagi seperti dulu, perempuan yang bekerja tak lagi diasumsikan menjadi hal yang tabu, kini dunia kami meluas, melapang, dunia kami bukan lagi hanya sebatas lingkup dapur selebar dua kali tiga meter yang dipenuhi sesak oleh kepulan asap.

Ngomong-ngomong soal emansipasi, sejak tadi saya hanya mengoceh semaunya tanpa membahas dulu definisi dari variable yang kita bahas disini. Oke, emansipasi. Jadi apa itu emansipasi? Sebuah harga prestisius yang diperjuangkan segitu ngototnya oleh Kartini. Itu benar, tapi hanya merupakan penyeketsaan pengertian dari garis luar, bukan dalam konteks yang mendalam. Saya tak sempat membuka kamus, jadi saya kemukakan saja apa yang ada di fikiran saya, ya? Menurut saya emansipasi itu adalah hal yang bukan meninggikan derajat kaum wanita, melainkan menyetarakannya dengan kaum pria. Setara disini juga bukan berarti sejajar, karena emansipasi sendiri tak akan mengantarkan kaum wanita untuk menggenggam tampuk kekuasaan dunia, atau setidaknya berdiri melampaui kaum pria. Melainkan duduk dalam singgasananya sendiri, yang penuh kebebasan, juga tanggung jawab dan rasa hormat sebagai mahluk indah yang pada tempatnya memang dikagumi dan dilindungi. Agak rumit memang, tapi saya harap anda sekalian mengerti.
Dulu, apa yang bangsa kita tahu soal emansipasi? Jangankan kita yang masih akrab dengan kebudyaan yang sarat unsur primitifisme, di Barat pun emansipasi sangat minim. Sebagaimana seorang Lady darah biru di kerajaan-kerajaan Eropa yang tetap harus jadi sepenurut merpati didepan Lord-nya. Atau, hukum penguburan hidup-hidup bayi perempuan yang lahir di masa Jahiliah di jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perempuan seakan tak ada harganya, bung. Mungkin mereka memang belum tahu jikalau yang cenderung menerunkan kecerdasan pada anak itu gen ibu, atau dari mana lelaki-lelaki bengis yang mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan itu lahir? Menetas dari sebongkah batu? Kan juga tidak mungkin. Emansipasi baru mulai disoroti dan dihargai semenjak zaman perang. Ada yang ingat Jeanne de`Arc? Oh, iya… pahlawan Prancis itu lho ketika melawan Inggris. Dia juga merupakan salah satu simbol emansipasi. Lalu tokoh-tokoh perang dunia dua, pilot-pilot Nazi juga banyak yang perempuan.

Intinya bung, emansipasi itu mahal dan luar biasa hebat. Berbicara soal ambisi, kami para perempuan tak akan pernah kenal ambisi tanpa adanya emansipasi. Dan seabad lalu, R.A Kartini menghadiahkannya secara khusus untuk kami. Kini, emansipasi itu menodong bayaran dari kami. Uangkah? Bukan. Atau gengsi sebuah nama? Bukan juga lah. Melainkan apa? Sebuah tanggung jawab. Ini quotes dari film Spiderman, tepatnya yang dibilang Paman Ben ke Peter, “Seiring dengan kekuatan besar, akan datang pula tanggung jawab besar.”

Emansipasi itu bak kekuatan besar buat kami. Dengan emansipasi, kami bisa menjadi apa saja yang kami mau, menjajal dunia mana saja yang ingin kami tapaki, dan mencoba medan apa saja yang ingin kami jajaki. Dan seiring dengan kedatangannya, tanggung jawab besar juga hadir dalam diri kami, menunggu untuk kami bayarkan segera. Bukan dengan hal yang bersifat materil melainkan sebuah jaminan, jaminan bagi generasi selanjutnya untuk terus dapat menghirup udara emansipasi  yang segar ini. Jaminan bahwa dengan ini, kami akan memanfaatkannya sebisa kami, mengisi posisi-posisi yang sepantasnya kami isi, dan melakukan yang terbaik karena apa yang kami jalani detik ini, perjuangan ini, adalah apa yang di waktu lalu hanya berupa mimpi.


Much Thanks to “Sang Pendiri Singgasana”





R.A. Kartini
***
(21.4.1879-17.9.1904)

An Old Friend

Ini sebenarnya saya tulis hari senin lalu...


Satu, dua, engg.. empat ya? Hampir empat tahun lalu terakhir kalinya kita bersama setiap hari. Ahh.. aku cukup rindu, ralat, aku sangat merindukan saat-saat itu kawan.. sangaat…
Ketika aku lulus TK, aku fikir aku akan sangat merindukan masa masa itu. Masa singkat yang hanya setahun lamanya yang kuhabiskan dengan teman-teman ‘pertama’ku. Mengapa kusebut teman ‘pertama’? karena itu adalah masa dimana untuk pertama kalinya aku yang seorang penjomblo teman ini menemukan banyak teman sekaligus, dengar? BANYAK!
Yeah, masa-masa itu cukup menyenangkan. Dan ketika aku masuk SD, aku selalu menantikan masa-masa dimana nantinya aku lulus, lalu masuk SMP, dan akhirnya bisa kembali bertemu dengan para teman-teman ‘pertama’ku di TK. Tapi ternyata, setelah mengalaminya sendiri dengan raga dan jiwaku yang masih secara resmi kugunakan sampai detik ini, dengan memori perekam setengah abal yang sampai sekarang alhamdulillah masih belum terganti, penantianku selama enam tahun itu bukan apa-apa. Toh ternyata, pertemanan antar bocah yang hanya setahun lamanya, tak sebanding harganya dengan kisah perjuangan berbagai macam bocah yang terkumpul secara tidak sengaja dalam kukungan takdir yang sama, yang memenjarakan kami selama enam tahun lamanya, menjadi saksi hari-hari dimana kami tumbuh, dan akhirnya melepas kami setelahnya. Of course, masa-masaku di SD jauh lebih meaningfull  ternyata. Itu serius. Meski bagaimanapun, teman-teman TK-ku lah yang menjadi objek ceritaku pertama kali pada ‘Kevin’-ku.


Seperti yang sering kubilang; “Apapun, yang menduduki posisi pertama pasti selalu mendapat tempat yang lebih istimewa dibanding mereka yang duduk di podium setelahnya.”
Lain soal teman SD-ku. Bukan berarti mereka tak seistimewa teman TK-ku karena mereka bukan yang pertama. Menurutku, mereka, both, sama istimewanya, sama-sama menduduki peringkat pertama, hanya saja podium yang mereka tempati ada di panggung yang berbeda. Mereka istimewa pada kategori mereka masing-masing.


Di TK-lah pertama kalinya aku merasakan berteman dan apa itu teman secara bebas. Sedang di SD, itu adalah kali pertamanya aku merasakan keajaiban sebuah proses sosialisasi. Yang ajaib dari masa-masa SD akan sangat terlihat jika kau melihat seberapa unyu-nya dirimu di foto saat pertama kali masuk sekolah dan seberapa besarnya kau begitu keluar. Dan itu sangat menakjubkan Man! Kalian, dalam lingkup yang hanya berisi beberapa puluh anak, setiap hari yang kalian temui hanya mereka-mereka saja, dengan persoalan yang harus dihadapi oleh kalian yang menyulit seiring dengan naiknya tingkatan kelas kalian. Itu adalah soal bagaimana ajaibnya kau tumbuh dalam kurun waktu 6 tahun, oleh karenanya, tak ayal kesan yang ditinggalkannya begitu hebat. Naik tingkat, sedikit akan kubahas tentang SMP. Benar adanya jika orang bilang ini adalah masa dimana seorang remaja mencari identitas dan jati dirinya. Mencari kedudukannya yang hakiki dalam masyarakat. Karena di SMP, aku sendiri merasa jika mulai dari sanalah aku belajar mengenal diriku, belajar memupuk mimpi yang benar-benar didasari dari hati, bukan sekedar testimoni teoritis seperti halnya di SD dahulu. Yah, sebenarnya, bukan teoritis juga sih. Kadang kala, impian-impian SD juga diiringi dengan semangat yang luar biasa membara, tapi intensitas impian-impian itu untuk dapat diterima dengan akal sehat lah yang sepertinya harus dipertanyakan.


Sebagai contoh, pernah ketika SD dulu, sekitar kelas tiga atau kelas empat, sampai sekitar kelas lima, aku memupuk impian, cita-cita, dan tekad baja untuk menjadi seorang penerbang pesawat tempur di TNI-AU. WHATTA GREAT AMBITION!! Hahaha keren kan? Aku, dengan tinggi pas-pasan ini konsentrasi mengurus gigiku dengan cara lebih rajin menggosok gigi, berdiri tegap di depan ketika upacara bendera, hormat dengan tegas dan keren layaknya seorang anggota Air Force sungguhan, rajin mengukur tinggi badan sambil terus berharap mendapat kenaikan tinggi secara ajaib, dan berbangga hati dengan mataku yang masih normal kala diantara temanku sudah banyak yang bermata empat. Aku pernah menangis sekali waktu, saat aku mengeluh pada ibuku belakang mataku terasa agak pusing dan beliau bilang jika itu adalah gejala mata yang memiliki minus. Dunia serasa runtuh Man! Kalian tahu, yang kutahu saat itu untuk menjadi seorang penerbang di TNI-AU hanyalah bisa mengemudikan pesawat-dan itu bisa dipelajari nanti- memiliki gigi rapi dan bersih, bertinggi badan cukup, disiplin, juga yang terpenting, matanya tidak boleh mengalami cacat mata jenis apapun, entah itu miopi, presbiopi, atau hipermetropi. Dan menurutku kala itu, jika tiba-tiba aku difonis berminus, hancur sudah impianku. Haaahh.. poloos.. dan yang lebih lucu lagi, kalian tahu? Aku ingin menjadi penerbang di TNI-AU karena ketika itu, marak sekali terjadi kecelakaan pesawat, dan para pilotnya yang turut gugur kemudian dikebumikan secara militer. Kau tahu, itulah impianku yang sesungguhnya, diluar niat dan angan-angan untuk menjadi seorang personil TNI-AU, aku hanya ingin jika mati kelak, aku dikebumikan secara militer. Kurasa, itulah impian asliku, intinya aku ingin kematianku adalah sebuah perhelatan besar, aku ingin banyak yang berduka oleh kepergianku nantinya, aku ingin mati setelah melakukan sebuah kontribusi besar bagi negara ini, orang-orang yang kusayangi, bahkan dunia jika aku bisa. Hingga setelahnya, aku bisa menjadi seorang dengan nama harum yang terkenang, yang abadi, yang berusia sungguh jauh lebih lama dari ragaku, yang dihormati dan disayangi banyak orang, yang menuai kekaguman, dan yang dikenang sebagai bagian dari sebuah Sejarah.


Sampai sekarang, aku sadar soal TNI-AU itu memang patut dipertanyakan dengan nalar normal. Tapi untuk menjadi sosok yang kurang lebihnya seperti apa yang kuterangkan diatas, kukira itu masih bisa diterima akal sehat meski nyatanya nampaknya itupun akan sangat sulit untuk diraih.


Aku memang gila hormat, dan mau diapakanpun ternyata itu memang tabiatku. Aku ingin menjadi seorang yang terkenang, sungguh! demi apapun yang kupunya. Aku suka menuai pujian, karena kuanggap mereka yang menyatakan pujian adalah mereka yang menghargai usahaku, dan menyukai style-ku.  Entah apa bedanya itu dengan riya yang dilarang kelas dalam agamaku itu. Tapi, setahu diri dengan wawasan islamik yang luarbiasa dangkal ini, riya  itu jika tidak salah artinya mengharapkan pujian kan? Menurutku, riya itu ada dalam konteks ketika sebuah pujian membuat seorang pelaku riya besar kepala dan jadi memandang rendah orang lain. Nah, yang salah ada disitu, memandang rendah orang lain. Seperti yang kupelajari dari guru Agamaku di SMA yang benar-benar membuka fikiranku soal Islam, Islam adalah agama yang logis, dan dosa tak akan berjuluk dosa jika ia tak menghasilkan sebuah keburukan atau tidak menghasilkan kegunaan samasekali, entah itu bagi diri kita sendiri atau bagi orang lain. Sebuah hal yang menghasilkan dampak buruk, entak bagi individu atau lebih, yang bahkan terkadang sebenarnya merupakan hal baik, adalah dosa. Dan itu bernamakan dosa agar orang tak melakukannya, agar para hamba ini setidaknya segan untuk melakukannya kala mengingat bahwa Tuhan kami, Allah swt. melarangnya. Tapi kufikir, apa yang kusukai dari pujian yang kuterima belumlah sampai pantas untuk disebut dosa, dan semoga saja ini benar.


Nafas bagi orang-orang dengan profesi yang kudambakan, yakni para seniman, tak lain adalah apresiasi. Apresiasi memang tak lantas soal pujian, kadang kala ia juga berupa royalti, sekedar komentar, dukungan, atau bahkan kritik. Tapi dari sanalah seniman-seniman hebat itu tak pernah kehabisan api yang menyulut semangat mereka dan menguapkan sekian ban dan menguapkan sekian banyak inspirasi bagi mereka. Dan itu yang aku inginkan bung, seandainya mengharap pujian itu salah, apresiasi dalam bentuk lain pun akan kuterima dengan suka cita.


Cukup soal cita-cita, niat, atau angan masa SD, mari kita kembali pada bahasan awal kita, yap, An Old Friend, atau teman lama.


Hari ini aku sebenarnya malas saat menerima pesan singkat dari seorang kawanku yang memberitahukan sebuah berita baik yang tak terlalu tepat diperdengarkan dikala liburan mendadak semacam ini melanda. Dan itu adalah… Guru Les Kimia kami yang bersedia mengajar hari ini, HARI LIBUR INIII…. AAAAA


Keadaanku sangat uhm, no. Aku belum mandi, masih dengan pakaian yang kupakai sejak tadi sore, rambut yang tak tersentuh sisir, muka kacau, mata sayu, dan nyawa yang masih bertebaran di alam mimpi dan belum terkumpul sepenuhnya membaca pesan itu. Hanya satu niat jahat yang ada di otakku kala itu, TAK BISAKAH INI DIBATALKAN SAJA??!  Aah… ya, selain hari ini acara TV lumayan banyak yang bagus, ibuku sedang masak besar, hari ini seharusnya LIBUR, selain itu aku juga belum sempat tidur sepuasnya sejak Jumat kemarin, dan ongkos bulananku juga hampir limit, padahal ongkos ke rumah temanku tempat Guru Les kami biasanya mengajar itu cukup menelan jumlah besar.


Alhasil, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku menyerah pada ego dan masa depanku. Masa depanku ketika ongkos bulanan ini sudah habis nominalnya, sudah menggelinding entah kemana angka-angka nol-nya nanti. Masa depanku selama akhir bulan ini yang aaah.. miris pastinya. Tapi lumayan, kenyataan ternyata cukup manis, tak seburuk yang aku fonis sebelumnya. Beruntung, Tuhan dengan mudah mematahkan fonis mengerikanku tersebut. Fikirkan saja, otakku sedang kacau dan tak ada lagi yang kufikirkan selain semua hal yang tampak begitu menyiksa dan membosankan. Beruntungnya, aku tak perlu melewatkan acara televisi yang menayangkan salah satu anime favoritku, dan berangkat dengan santai di siang hari, lalu tak perlu pula aku menguras tenaga kian banyak lagi, karena akhirnya aku dijemput di depan gang oleh mereka kawan-kawan penjemput setiaku, yang masing masing mengendarai ‘taring putih’ dan ‘kilat kuning’. Hahaha~


Kami mengobrol cukup lama, dan di waktu les pun pokok bahasan yang belum kumengerti di sekolah akhirnya bisa masuk secara baik meski perlahan ke otakku yang sesungguhnya begitu anti science ini. Kau tahu? Otakku hanya berisi tentang ilmu-ilmu sosial yang kusenangi, selain itu, prinsip-prinsip seni, pokok-pokok ajaran hidup para tokoh yang kukagumi, dan selebihnya adalah mengenai memori unvalueable –ku lengkap dengan berbagai hal tentangku, prabot kenarsisan dan keegoisanku hohoho…


Sebelum pulang, aku dan kawan-kawan disuguhi soto oleh sang tuan rumah. Kebetulan, akibat termakan oleh propaganda seorang presenter acara wisata kuliner kemarin pagi, aku jadi tiba-tiba nyidam soto. Oke, aku bukan wanita hamil! Tapi ayolah, beritahu aku kata lain selain nyidam yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan menggebu-gebu untuk merasakan suatu menu yang sebenarnya cukup familiar barang sesuap saja. Dan keinginan sesaatku itu kurang lebihnya sudah terkabul. Ketika waktunya pulang, aku dan seorang kawanku yang berlokasi tempat tinggal tak jauh dariku, diantar lagi oleh mereka para pengendara taring putih dan kilat kuning, bahkan sampai hampir setengah jalan, sehingga kami berdua bisa naik angkutan umum lewat jalur yang aku sukai, jalur yang jauh lebih kondusif dibanding jalur satunya. Dimaksudkan untuk menukarkan uang karena uang receh itu mutlak keberadaannya ketika kau memutuskan untuk naik angkot, kami akhirnya mampir ke sebuah minimarket. Disana, aku yang tadinya hanya berniat membeli sekotak jus atau sebungkus snack kentang hobiku untuk menukarkan nominal uang yang kupegang kedalam bentuk pecahan yang lebih kecil, akhirnya malah menemukan sebuah mie instan cup dengan rasa ekstra pedas favoritku yang lama sudah tak kurasakan. Akhirnya, dengan berbunga-bunga aku membeli mie cup itu. Lain denganku, kawanku yang bersamaku itu membeli minuman bersoda dengan rasa lime. Geezz.. lime mengingatkanku pada sesuatu. Sempat ketika aku menunggu antrian di kasir, aku menyusun beberapa kata untuk membuat sebuah tulisan tentang lime. Namun niatan itu tergeser ketika aku melihatnya, bergerombol dengan teman-temannya, tak banyak berubah dari yang dulu, hanya bertambah tinggi sedikit, dengan gaya yang masih sama, mengagetkanku. Anak laki-laki itu, menyapaku…


Sejenak jabatan tangan hangatnya yang dingin membuatku tertegun selama sepersekian detik sembari membawa anganku ke masa dari sepuluh sampai empat tahun lalu, masa sejak kami untuk pertama kalinya berjabat tangan seperti ini. Cukup menyenangkan rasanya mengingat yang seperti ini sudah kuangankan sejak lama. Selesai acara tertegunku, anak laki-laki yang berusia lebih tua empat belas hari dariku itu menyapaku, sekedar menanyakan aku dari mana memang, tapi kata-kata dengan intonasi khasnya, cengirannya, ah hal yang dulu hampir bosan kulihat itu nampaknya jadi begitu istimewa ketika lama aku tak menemukannya.


Beberapa temanku yang lain, yang dulu juga senasib, terkurung dibalik dinding-dinding keropos pagar SD kita yang begitu mudah dilompati itu, bahkan kali ini hanya melengos jika bertemu denganku, entah pura-pura lupa, memang sudah lupa, atau agak lupa dan khawatir salah orang, yang jelas itu memang terkadang menyakitkan bung, membuatku seperti terbuang dari memori SD-ku yang indah itu, tapi kau membuatku beruntung. Kau langsung berhenti dari lajumu begitu menyerukan namaku, mempersilahkan teman-temanmu yang tak kukenal itu untuk berjalan lebih dahulu dan meninggalkanmu beberapa langkah kedepan hanya untuk yaah, sekedar saling sapa, menegaskan ikatan antara kita yang sepertinya masih sangat kuat sampai saat ini, kita pernah, dan akan selalu berkawan akrab. Hei, dengan begitu kau membuatku merasa beruntung pernah mengecap masa enam tahun di SD tua itu. Pernah mengenalmu dan membagi banyak kisah denganmu.


Sobat karibku, kapan lagi ya waktu menyisakan beberapa menit lebih lama untuk saling bercerita? Aah, banyak yang harus kuceritakan padamu dan wajib kau ceritakan padaku. Dulu semasa enam tahun tolol kita, kita sering saling berkisah. Dan kisah demi kisah yang kau perdengarkan kepadaku membawaku perlahan semakin mengenalmu. Bahwa kau sama kerasnya denganku, selain itu selera humor kita juga hampir sama gilanya, juga bahwa kau pribadi yang sangat mencintai keluargamu, bahwa kau adalah orang yang selalu bangga dengan keadaanmu dan orang tuamu bagaimanapun adanya, bahwa kau kakak yang baik, dan bahwa kau pun sahabat yang baik.

Bukan tidak pernah, dalam masa-masa enam tahun itu kita berseteru. Pernah, kala aku sedang klop-klopnya dengan teman teman perempuanku, dan kami mendirikan semacam geng begitu, kami mengintimidasi salah seorang dari kawanan teman main bolamu, dan kau tahu bahwa aku yang memprofokatori aksi ini dan aku yang membuat temanmu itu menangis dengan mencengkram lengannya mengunakan kuku-kuku jariku yang tajam sampai hampir berdarah, kau dengan amarah yang meluap luap menghujatku, seenaknya memfonisku dan menatapku tajam dengan mata bulatmu yang memerah. Sebenarnya aku berniat membalas dan berkata jika ini hanya sebuah permainan, persaingan biasa, perseteruan normal, dan kalian sebagai para boys seharusnya bisa bertindak jauh lebih gentle dari ini, tapi nyatanya aku tak terlalu suka bertengkar denganmu dan memilih untuk kabur dari sana. Meninggalkanmu yang mungkin speechless kala itu.

Coba kau tanyakan padaku, apa yang pertama kali membuatku yang sudah kenyang dibuat kecewa ini akhirnya dengan hati terbuka dan kepercayaan penuh menerimamu sebagai sahabatku? Itu terjadi di musim hujan, tahun 2003 atau 2004, tepatnya aku agak lupa. Kala itu, nomer ulangan umum disusun secara sistematis, dan kenyataan itu yang membuat kita akhirnya duduk bersebelahan berbagi meja. Aku beruntung, kau teman yang baik, aku sungguh beruntung kala itu man, karena selama aku bersekolah di SD itu, seseorang dengan nomor absen tepat dibawahku adalah orang yang kupercaya sejak hari itu, itu kau. Kau ingat, dulu aku hobi datang di pagi buta. Bahkan, terkadang terlebih saat musim hujan, aku sudah datang ketika matahari samasekali belum nampak. Dan ketika itu, aku selalu senang karena tak lama setelah kedatanganku aku selalu melihatmu. Datang dengan tas dorong yang kau gendong bergambar entah kamen rider, power rangers atau apa itu, dengan jaket merahmu yang sudah menjadi bagaikan ciri. Kita mengobrol sampai tak terasa sekolah sudah ramai, mengobrol di depan tukang mainan tanpa membeli apapun. Topik obrolan kita pun begitu sederhana dan ordinary, film kartun dan anime yang tempo hari tayang di televisi, namun entah mengapa mengobrol denganmu membuatku bisa dengan mudah menghabiskan banyak waktu. Dibawah langit yang menyendu kala itu, langit yang selalu membuatku berat untuk tersenyum, langit yang tak kusukai itu, kau menghapus segala kesan buruk olehnya.

Di tahun berikutnya, kita kembali duduk bersama di masa-masa ujian. Aku ingat, suatu waktu kakimu terkena paku yang menganga di salah satu sudut meja yang dekat dengan kakimu. Kau ngotot bilang jika kau baik-baik saja, kau memintaku untuk diam sampai ujian selesai tapi aku tak menindahkannya. Aku dengan setengah takut pada darah dan khawatir karena tak bisa bayangkan aku sudah menangis sekencang apa jika aku yang terkena, akhirnya melapor pada wali kelas kita yang tengah mengawas. Beliau mengobati lukamu dan ujian pun sejenak terhenti. Tak apa, kau marah pun aku tak peduli, toh seandainya kau marah, Bu guru pasti membelaku, dan nilai PPKn-mu yang nantinya rendah di raport.


Kau ingat, di beberapa konteks kita senasib. Di kelas 3 SD, kau pernah tertabrak motor sepulang sekolah, dan kaki kananmu patah karenanya. Ketika itu, aku tetap melihat senyummu, tapi itu tak sebagus yang biasanya, lalu aku bersama dengan teman-teman yang lain menemanimu setiap istirahat, menawarkanmu untuk membelikan sesuatu di kantin, dan memaksamu untuk latihan berjalan. Hingga akhirnya semua itu membuahkan hasil dan kau bisa kembali kepada keadaanmu yang sedia kala. Dua tahun setelahnya, tepat tanggal 11 April 2007, ternyata tiba giliranku. Di kelas lima, ketika aku hendak berangkat kursus bahasa Inggris, aku juga naasnya tertabrak motor sama sepertimu. Dan yang jadi korban, juga sebatang kaki kanan, hanya saja kali ini milikku. Aku berterimakasih, sangat berterimakasih karena kau jadi satu-satunya teman laki-lakiku yang ikut menjengukku ke rumahku. Tak hanya itu, kau juga memberiku motivasi, atau malah berupa ancaman bahwa aku harus sembuh sebelum lomba yang kuikuti di akhir Aprilnya. Kau juga membatuku latihan berjalan, hingga seperti apa yang kau minta, aku bisa mengikuti lomba “Murid Teladan” itu dengan baik meski dengan kaki yang masih pincang. Tapi ayolah, juara III! Juara III dengan kaki pincang. Dan juara satu dan duanya itu kakinya normal, bayangkan! Itu berarti aku adalah juara satu peserta dengan kaki pincang, andai itu masuk kategori.


Selain itu, menjelang ujian kelas 6, saat dilakukan pendataan ulang tentang orang tua, wali kelas kita memanggil kita ke mejanya. “Yang nama bapaknya Wahyudin itu siapa, yang nama bapaknya Wahyudi itu siapa?” Tanyanya sambil menunjuk beberapa daftar yang nama Wahyudi dan Wahyudinnya masih ditulis dengan pensil. Kolom berikutnya yang menunjukan daftar pendidikan terakhirpun ternyata sama, dan tahun lahirnya juga sama. Perbedaan data kedua orang bapak-bapak itu sungguh hanya berupa dengan ‘n’ atau tanpa ‘n’ saja. Seketika itu juga kamipun tertawa dulu sebelum memberikan informasi yang benar. Bagaimana mungkin kita, sebegini senasibnya…


Pernah sekali waktu juga aku iri padamu. Kau tahu saat lomba nyanyi sekecamatan disaat kita kelas 4 kalau tidak salah. Aku, kau, dan beberapa orang lain yang juga anggota vocal grup diseleksi untuk ikut lomba. Tapi karena aku baru datang dan nafasku masih ngosngosan ketika di tes, aku jadi tak lolos seleksi, sementara dirimu lolos dengan mulusnya. Oke, kuakui suaramu bagus, tapi seandainya aku tidak ngos-ngosan aku juga pasti akan lulus, dan sekolah kita bisa lebih baik dari sekedar juara 2 jika aku ikut serta.
Sayangnya, masa-masa menyenangkan bersamamu itu hanya berlangsung selama enam tahun saja. Salahku juga sih, aku jugalah oknum yang menyarankanmu untuk daftar di sekolah yang tak terlalu jauh dari sekolah tempat aku diterima, dan kau mengabaikan niatmu sebenarnya untuk mengikuti saranku. Tapi ternyata dugaanku meleset. 


Peruntunganmu yang tepat bukan di sekolah itu, al hasil kau pun jadi harus mencari sekolah yang jauhnya berkali-kali lipat dari sekolah yang awalnya kau pilih. Tapi kau tak menyalahkanku, dan itu yang aku heran. Selepas SD, kita jarang sekali bertemu. Ketika SMA kufikir kita bisa bertemu lagi, ternyata tidak. Takdir belum memperkenankan kita untuk berrekanan lagi. Sejak Lulus SD, kita hanya bertemu sesekali waktu. Terhitung olehku, paling tidak ada saja kesempatan bagi kita untuk saling menyapa setahun sekali. Tiga tahun lalu, seorang kawan kita mengundang kita ke acara reuni kecil-kecilan di rumahnya. Dan itu adalah kali pertamanya aku melihatmu lagi setelah SD. Sebenarnya, beberapa bulan setelah lulus, aku masih sering menemukanmu sedang asyik menghamburkan uangmu di game station di mall-mall dekat rumahmu. Tapi semakin bulan itu berganti tahun, kau semakin jarak kutemui. Di tahun setelah itu, kita bertemu jika tidaksalah dalam event upacara PGRI, kau sepulang dari stadion mampir untuk membeli es di warung depan sekolahku. Kebetulan aku lewat dan kita saling menyapa. Setahun terakhir ini, aku memang tak pernah melihatmu, pernah ada desas-desus kau pindah ke Bandung, dan apabila itu benar, aku bersiap sudah terlupakan olehmu. Tapi aku tertegun sekali lagi, kau sempat memang beberapa bulan di Tambun, tapi kau masih mengingatku.


Begitu banyak hal yang sama diantara kita, kegilaan-kegilaan kita yang ternyata saling cocok satu sama lain, situasi yang menjebak kita untuk akhirnya tumbuh bersama, membuatku merasa takdi mengguratkan sesimpul ikatan kuat diantara kita. Ikatan yang bukan apapun, bukan saudara, keluarga, atau antar kolega, apalagi pacar atau sejenisnya. Kau tahu, aku bukan tipemu, dan kau bukan tipeku. Kita hanya saling menyarankan, saling memilihkan dan mengkonsultasikan pasangan. Dulu aku cukup banyak membantumu, dan sekarang harusnya giliranku. Aku ingin menuntut bantuan darimu. Heii…








Ya, terserahlah, asalkan kau tidak lupa saja padaku.


Oiya, saat ini tiba bagiku untuk menarik kesimpulan.  Ternyata aku samasekali tidak sedang tidak beruntung, aku beruntung, sangat beruntung malah hari ini…

Monday, April 09, 2012

Bukan Sekedar Untuk Menghibur Diri


Well, sebenarnya, ini tulisan udah saya buat beberapa minggu lalu. Kala saya masih berada dalam puncak kekesalan terhadap takdir yang ternyata tak memihak pada saya. Namun, kali ini nampaknya saya sudah mulai menyadari jika tak ada gunanya berlarut-larut dalam ironi, dan mulai menerima kenyataan kini adalah satu-satunya cara untuk tetap bertahan hidup...

TAPI AKU TETAP MENCINTAI KALIAAANN!! XD



Perpisahan itu memang menyedihkan, tapi sayangnya itu ada. Oh, tak apa! Sungguh! Jika tak ada hal menyedihkan di bumi ini, maka tak akan pernah ada hal menyenangkan, dan yaahh.. kalian bisa bayangkan akan seberapa mirisnya kita. Hidup datar, hanya terlarut dalam laju gerak kehidupan yang pasif, tak menuntut, dan semu.
Sebuah tekanan, mungkin tak semacam dengan tekanan yang ditemukan Archimedes berabad lalu, tapi.. tekanan yang rumit, lebih rumit karena rumus secantik apapun tak akan mampu terka persamaannya, tapi jelas semua orang mengerti maknanya. Ini soal perasaan, soal hati…

Dengarkan ya, aku akan menceritakan sebuah kisah..

Seorang professor yang genius dan itu sudah jelas terbukti oleh banyaknya rentetan gelar yang teruntai di belakang namanya, mungkin bisa saja mengujar bodoh dihadapan seorang filsuf. Professor itu bilang, hati yang selalu dikatakan oleh jutaan bahkan milyaran pujangga soal tempat dimana mereka meletakkan objek terindah dalam setiap penggalan bait puisi mereka-cinta-berada, adalah jantung. Tak ayal, si filsuf pun tertawa. Ia lalu bertanya pada lelaki botak didepannya. “Professor, menurutmu dimana cinta itu berada?”. “Tentu di otak.” Jawab si professor yakin. Lelaki botak itu fikir, semua kendali atas kesatuan sistem gerak, perasa, dan pemikir manusia ada dalam sebuah mesin tercanggih yang pernah ada, sebuah prosessor tercepat dengan memori terbanyak yang pernah tercipta, otak. Lagi-lagi si filsuf tertawa, “Kau salah, itu ada di hati.” . “Bagaimana mungkin, jika hati bukan jantung, maka ia adalah liver, dan fungsinya hanya berupa penyaring racun dalam tubuh. Tak ada kaitannya dengan perasaan manusia. Perasaan manusia hanya dapat di proses di otak.” Ia mulai berargumentasi seenaknya, lalu si filsuf mengerutkan keningnya. “Kita tak sedang berbicara soal anatomi tubuh manusia, melainkan cinta. Jika yang kau maksud dari organ hati adalah yang tadi itu, berarti masih banyak yang tak kau tahu, professor… Tentang sebuah organ yang penting, yang begitu riskan meski abstrak, meski dengan jutaan kalipun kau belah tubuh-tubuh manusia, kau tak akan menemukannya. Di tempat tersembunyi itulah apa yang kusebut cinta berada, pusat kendali dari Id, dimana manusia bisa memandang segalanya dengan indah, bukan dengan nafsu ataupun keinginan untuk memiliki seutuhnya, tapi untuk menyadari sesuatu yang penting dan ia tak bisa hidup tanpanya, oleh karenanya ia merasa wajib merawatnya. Membiarkan segalanya yang indah tumbuh dengan indah hingga dapat memperindah apa yang dilihatnya. Itu cinta, dan aku tak akan pernah rubah soal jika hati adalah tempat dari apa yang kumaksud cinta itu.”

Hanya sekilas cerita mengenai percakapan seorang filsuf dan professor karangan saya. Tapi jika difikir fikir, tak ada salahnya juga membenarkan hal ini. Bahwa hati adalah tempat berpusatnya segala hal yang dianggap tabu untuk dibahas dengan Science. Science itu keras kepala, bagaimanapun pintarnya manusia abad ini, yang namanya hal hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika itu pasti masih ada. Dan kalian para Science memaksa segala hal untuk dapat dijelaskan dengan jalan fikiran otak kalian yang kaku itu saja. Mungkin, hati bisa jadi adalah kambing hitam dari semua karangan pujangga-pujangga yang sarat gombalisme itu. Tapi mereka hanya bercerita, jadi tak ada salahnya, dan jangan kalian pungkiri jikalau sudah banyak orang yang sudah tersugestikan soal hati. Hati yang abstrak itu nyatanya benar ada. Atau setidaknya, diakui keberadaannya.
Lewat hati, kita mengenal apa itu cinta. Dewasa ini mungkin banyak sudah ilmuwan yang sudah berhasil menkonversikan cinta dalam bentuk sederet rumus yang terlihat mengerikan untuk sebagian orang-aku termasuk-. Ya, aku akui itu baik, tapi kalian tak perlu berfikir rumit soal yang satu ini. Terserah, jika di dalam kepala kalian memang sudah begitu adanya dan kalian juga lebih nyaman mengekspresikan soal cinta kedalam bentuk mengerikan semacam itu.

Cinta, cinta, cinta… Ahh, gombalisme para pujangga itu nampaknya menjadi salah satu aliran yang kuanut kini. Aku tak bisa pungkiri bahwa cinta itu indah. Ia adalah sebuah temuan terhebat dalam sepanjang sejarah alam semesta. Dan aku sudah katakan ini berkali-kali. Cinta, seperti kata si filsuf tadi-sebenarnya itu kata-kataku juga sih- merupakan sebuah hal yang membuat kita berfikir bukan dengan nafsu, atau hasrat menggebu gebu untuk memiliki -ini dalam konteks apapun- melainkan sebuah perasaan yang membuat kita tersadar akan seberapa pentingnya suatu hal yang kita cintai, yang membuat kita selalu berusaha untuk menjaganya, dan membiarkannya memperindah segalanya yang kita lihat lewat sepasang mata kita.  

Oke, aku memang tak punya pengalaman apa-apa soal cinta yang lumrah disebut oleh para gombalis-gombalis itu. Aku belum pernah merasakan secara langsung yang semacam itu. Aku terlalu polos, naif, atau bahkan bodoh dan bebal untuk dapat membiarkan serabut-serabut halus cahaya warna-warni yang indah itu membias kedalam hatiku? Tapi, aku pernah memilikinya, meski itu kufikir untuk seseorang yang membuatnya hanya terlihat sebagai seonggok hal bodoh yang sia-sia. Bagaimanapun aku pernah merasakannya. Iya, aku akui. Tapi, soal cinta.. kita tak hanya bicara yang itu saja kan? Kita juga bisa bicara soal cinta kepada yang lain, Tuhan, keluarga, teman, atau bahkan sesuatu yang tak bisa disebut hidup. Hei, mereka juga cinta, meski efek kala mendengarnya tidaklah sedramatis saat kita mendengar soal romansa antara sepasang kekasih, mereka juga sarat akan keindahan.

Aaahh… sial! Aku tak tahu. Aku seenaknya memfonismu sebagai cinta pertamaku dulu. Meski itu tak kulakukan secara eksplisit juga. Saat ini, setelah semuanya hampir memusnah tanpa bukti, artefak, atau fosil apapun yang bisa kutelusuri kala aku merindu soal ini, semua yang terjadi antara kau dan aku hanyalah hal biasa. Aku tak mau munafik, aku pernah menyebutmu, dear, prince, atau apapun yang terdenar begitu ah, berwibawa sebagai sesuatu yang penting untukku. Meski itu semua cuma-cuma karena toh, kau tak pernah berbuat apapun untukku. Tidakpun untuk menunjukan sebentuk sinyal jikalau kau menyadarinya. Tapi itu tetap tak menjadi terlalu mahal untuk kuberikan padamu, karena bagaimanapun kau memang pernah menempatinya, sebuah posisi prestisius dihatiku yang masih tak menutup kemungkinan kau pun masih bisa menempatinya lagi. Atau orang lain mungkin nanti, haha…

Tapi jauh sebelum dirimu, aku mencintai sesuatu hal lain. Yang… tak bisa disebut hidup tapi jelas ia menjadi nafasku sejak hari dimana aku jatuh cinta padanya. Cinta pertamaku yang sebenarnya karena waktu berlangsungnya memang sangat lama, dan indah yang ia ciptakan di hatiku sungguh tak terkira, duniaku sudah semarak oleh warna-warna indahnya entah sejak kapan, dan kini aku harus terjebak dalam sebuah kemonokroman.
Mungkin ini terlihat bodoh lebih daripada saat aku pernah terlihat bodoh sebelumnya. Aku tak ingin mengintimidasi diriku sendiri, tapi ini memang terdengar konyol untuk orang yang tak tahu apa rasanya menjadi aku saat ini. Dua tahun ajaranku kedepan akan kulalui tanpa kalian cinta pertamaku.

Aku berteriak, bernyanyi selagu-lagunya, bersenandung sejadi-jadinya, tertawa hingga organ pernafasanku yang difonis berasma kembang kempis karenanya. Aku tak tahu, rasanya selesai ulangan umum tak sebahagia saat aku akan menghadapi ulangan IPS esok harinya. Masih ada yang mengganjal dalam fikiranku, soal keputusanku yang sangat berat untuk meninggalkan kalian sementara waktu ini.

Kalian itu… masalah!
Masalah yang memaksa semua yang ada dalam otakku bisa kukeluarkan, kuargumentasikan di depan orang banyak. Kalian yang membawaku pertamakali merasakan bagaimana hebatnya berbicara di depan khalayak ramai, menyadari bahwa dari sekian banyak kepala yang kulihat semua isinya berbeda, dan semua itu bisa disatukan dalam sebentuk hasil perundingan yang kompleks dan hebat, atau bahkan kerusuhan karena tak mampunya pendapat-pendapat itu disatukan. Kalian adalah masalah yang membawaku menjadi seorang argumentator yang cukup sulit tergoyahkan dalam debat.

Kalian itu… bencana!
Bencana kala aku kecewa dengan hasil tak memuaskan yang kuperoleh kala kalian dievaluasikan. Aku merasa bahkan seperti hidupku gagal. Untuk matematika atau fisika, nilai empat atau tiga bagiku biasa. Kebal sudah bahkan aku terhadapnya, tapi.. kala aku hanya dapat delapan dan temanku yang seorang eksakta lovers mendapat nilai delapan koma satu, hatiku runtuh oleh gempa, hanyut oleh tsunami, dan melebur bersama segala lava-lava pecundangisme yang meletus dari gunung looser yang entah tumbuh dari lempeng sebelah mana.

Kalian itu… Kabar buruk!
Kabar buruk kala kemungkinanku untuk masuk program IPA tak bisa dianulir lagi. Aku, bagaimanapun, tak akan bisa memperjuangkan keegoisanku soal kalian seorang diri saja. Selama yang lain setuju, aku sungguh tak punya kuasa. Yaah, apa boleh dikata hanyutlah sampanku pada arus yang berbadai untukku nantinya. Sementara kalian hanya melambai pasrah di kejauhan. Aku hanya merantau dua tahun ajaran, yang bagi program ini hanya enambelas bulan lamanya. Tak apa, itu tak seberapa dibanding semua hal indah yang pernah kita lalui selama ini. Toh setelah itu, aku akan tetap berjuang di jalur kalian. Aku memang masih bingung akan jadi apa aku nantinya, untuk misi itu bisa difikirkan pelan-pelan, yang jelas visi sudah kukantongi. Aku akan memperjuangkan hak-hak yang masih terbengkalai di negeri ini, aku akan kampanyekan soal diskriminasi dan pembunuhan karakter yang menurutku merupakan kendala besar mengapa bangsa ini tak kunjung maju. Entah lewat apa, mungkin aku akan menulis buku, berorasi, mendirikan partai atau yayasan, berkarya, atau apapun lainnya. Yang jelas aku punya tujuan, dan meski kita harus terpisah disini, tujuanku tak lain tetap adalah kalian.

Aku punya tujuan mengapa aku sekarang berdiri sebagai seorang siswa di negeri ini. Aku mungkin akan menjadi salah satu pemimpin atau orang yang memegang peranan penting di negeri ini beberapa tahun lagi. Ini karena aku punya amanat dan aspirasi yang kukantongi, dari diriku sendiri atau bahkan banyak orang yang juga merasakan hal yang sama denganku. Kita lihat saja bagaimana jadinya negeri ini limabelas tahun lagi.

Aku mencintai cinta pertamaku, ilmu sosial yang selalu berhasil membuka cakkrawalaku tentang banyak hal yang sebelumnya kuanggap tabu. Kalian hebat, selamanya! Dan aku cinta negeriku, bukan sebagai supporter sepakbola yang hanya mampu melaseri kiper negara tetangga agar team kita menang, tapi juga selalu berusaha untuk bangga padamu bagaimanapun keadaannya. Ingat, aku tak pernah menyalahkanmu Indonesia sayang, aku tak pernah mendakwamu sebagai tersangka atas seberapa bobroknya keadaan kita saat ini, melainkan hanya kaki tanganmu saja yang penuh cela. Kau tetaplah dirimu yang selalu kami agungkan, yang kami cintai, lebih dari sekedar status tempat tinggal atau sebongkah tanah yang kami tinggali, lebih dari sekedar sebidang lahan yang kami gerogoti sumberdayanya seumur hidup kami, tapi juga sebuah identitas. Dasar dari kecintaan, dan harapan yang akan kubawa untuk melanglang buana di pucuk tertinggi dunia. Aku akan membuatmu bangga, bangga pernah memiliki diriku sebagai bagian dari rakyatmu, sedapatku nantinya!


Ini janjiku, dan kuharap kau mau percaya juga doakan agar sebentuk keberhasilan itu kelak dapat kita bawa pulang.


“Tuhan, ini niat baik ‘kan? Kuharap Engkau-pun berkenan kiranya mempermudah jalanku untuk meraihnya..”




Yuanita WP,
,-masih dalam kemelut kekecewaan-,
©2012

Thursday, April 05, 2012

Of Course, They’re on My Shoulders


Emm, cukupkan dulu soal menghayal ya?
Mari kita, sedikit berbicara tentang kenyataan..
Entah kenapa hasratku terhadap menulis semakin menggila semenjak aku merintis berdirinya blog yang masih miris ini beberapa bulan lalu. Aku memang tak menulis diary, tapi aku selalu berusaha untuk meng-“capture” inspirasi-inspirasi yang biasanya tanpa sengaja kudapat. Dan itu cukup sering berlangsung, jadi intinya sama saja. Dengan mengabadikan inspirasi-inspirasi tersebut, aku bisa mengingat-ingat kapan aku mendapatkannya. Karena setiap aku baca ulang tulisanku, kejadian demi kejadian yang melatarbelakanginya turut terlintas di otakku, terputar ulang, dan itu tak ubahnya sebuah jurnal bagiku, karena dalam tulisan-tulisanku yang berorientasikan tema ini, aku mengimplementasikan memoriku, memroyeksikan hidupku kedalam hal yang kurang lebihnya implisit. Karena hidupku adalah tentang diriku, dan hanya Tuhan, aku, dan orang-orang yang kukehendaki untuk tahulah yang akan mengerti apa yang sesungguhnya ada dibalik celotehanku, omong kosongku.

***


Sekarang, aku ingin membicarakan tentang masa depan. Yeah, future. Mendengarnya pun aku sudah tak tertarik, berhubung kata tersebut terdengar sangat jauh dan kelabu. Aku sudah berkali-kali berceloteh mengenai orientasi hidupku yang cenderung berbalik. Aku belajar dari apa yang kulihat dimasa lalu. Aku membaca ulang memoar-memoarku untuk mengenal diriku sendiri, aku mendapatkan panutan dari sosok-sosok hebat yang kulihat dimasa lalu, aku menghadapi masalah-masalahku dengan melihat keberhasilan orang lain mengatasi masalah yang serupa dengan milikku, dan aku mencintai diriku dan orang-orang disekitarku karena aku menyadari bahwa banyak hal hebat yang telah kureguk manisnya karena adanya mereka, dan tanpa mereka hidupku tak akan seberharga ini, tak akan seberarti saat ini.

Aku lebih suka melihat kebelakang, mengenang hal-hal indah yang pernah terjadi. Selama ini, apa yang terjadi kedepannya selalu menjadi kejutan untukku, baik itu membahagiakan atau menyedihkan. Kenapa? Karena aku tak pernah merencanakan betul secara sistematis soal masa depan. Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai misteri yang akan terbuka sesuai dengan jadwalnya di kemudian hari. Aku tak pernah berminat untuk memikirkan terlalu masa depan karena aku merasa lelah jika melakukannya. Aku juga tak berminat untuk kecewa. Kesannya, memikirkan masa depan berarti mengira-ngira hal yang terlalu abstrak sementara kita terus dikejar waktu yang singkat.

Kejadian yang berlatarkan langit jingga di halaman rumahku sore ini rupanya membuka mataku lebih lebar lagi soal hal ini. Soal keharusan bagiku untuk menatap lurus pada takdirku kedepannya yang masih buram di mataku sampai saat ini.

Aaah.. waktu rupanya berjalan begitu cepat. Seingatku kemarin fikiranku belum berat samasekali, masih ringan dan tak berisi. Tapi detik ini aku sudah mulai dipaksa berlari, menembus kelam kabut yang menutupi, menutupi takdirku di depan sana. Tadi, seorang kerabat datang berkunjung, dengan mengendarai mobil klasik keluaran lama yang sudah sejak lama pula jadi incaran ayahku. Salah satu impian kecilnya. Sebenarnya, bukan jadi hal yang mustahil juga, toh dari hasil kalkulasi yang kusimpulkan, dengan sedikit lebih rajin menabung, sebenarnya bukan hal mustahil bagi beliau untuk sekedar memilikinya. Bukan hal mustahil andaikata pendidikanku tak menelan biaya sebegini besarnya..Tapi demi mengedepankan kepentinganku, beliau dengan berbesar hati menahan keinginannya untuk itu. Terdengar bijak, luar biasa bijak malah, tapi agaknya itu menjadi hal berat untukku.

Aku, sebagaimana kenyataan yang berbicara, tak lain dan tak bukan adalah anak pertama di keluarga ini. Keluarga sederhana yang berdomisili di pinggiran kota kecil sarat polusi. Dimana biaya hidup semakin kesini semakin merangkak meninggi. Bukan masalah jikalau aku hanya seorang parokial yang awang-awangan soal pendidikan. Masalahnya adalah sejak memulainya, keluargaku selalu menomor satukan soal itu. Semua kenekatanku, kegilaanku, semua itu dituruti asalkan aku memang menyanggupi untuk menjalaninya sungguh-sungguh. Semua sekolah yang kujajaki sejak TK bisa dibilang mereka yang cukup prestisius di regionalnya, dan semua itu atas keinginanku. Orang tuaku tak pernah ambil pusing untuk memaksaku memasuki sekolah pilihan mereka, karena sejak dulu aku yang selalu menjadi penentunya, mereka hanya berperan sebagai penasehatku, dan tentunya penanggung jawab atas kenekatanku. Meski adanya justru memberatkan mereka. Apa yang kupilah tak ayal membuat kami sekeluarga harus mengkalkulasi ulang sirkulasi keuangan kami, lebih menyederhanakan lagi gaya hidup kami yang memang sudah begini adanya, dan memangkas pengeluaran sepintar-pintarnya kami.

Oleh karena semua hal diataslah, masa depan buatku yang lebih baik dari keadaan keluargaku sekarang adalah harga mati. Orang tuaku sudah berjuang sebegini ngoyonya sekedar untuk memodali kenekatanku, dan suatu saat nanti, harus ada part khusus dimana mereka punya kesempatan untuk menikmati ganti apa yang mereka relakan untuk pergi demi aku saat ini. Apabila aku memang betul berusaha, aku yakin ini bukan hal yang mustahil. Tetapi belakangan aku mulai bisa merasakan mulai timbul sedikit keraguan pada mereka terhadapku. Bukan karena aku telah mengecewakan mereka, toh aku sampai saat ini aku selalu berusaha keras untuk mempertanggung jawabkan kenekatanku itu kok. Diagnosaku ini karena aku mulai mendekat pada masa depanku, dan ini karena mereka tahu betul sekedar kenekatan bukan lagi jadi hal yang bisa dijadikan prioritas untuk kedepannya, sekedar kenekatan tak lagi bisa dijadikan taruhan yang sebanding dengan kenyataan yang harus dihadapi seterusnya.

Jika ditanya, aku punya kok cita-cita. Banyak malah. Bukan cita-cita profesionis yang konkrit memang, lebih seperti daftar tujuan yang entah bagaimana caranya, lewat manapun lajunya, kalau bisa harus kucapai nantinya. Tak ada yang salah, karena ini memang terdengar hebat seperti adanya bila suatu saat nanti terwujud. Tapi belakangan aku mulai menyadari kejanggalan. Mengenai apa yang diinginkan olehku dan kedua orang tuaku yang ternyata cukup bertubrukan.

Mungkin ini terdengar naif, tapi dari dalam hatiku sendiri aku tak bertekad untuk memupuk materi di kemudian hari. Aku rasa, orang sepertiku memang kurang cocok saja jadi saudagar atau pengusaha yang menuani aset yang tersebar dimana-mana. Aku tak pernah bermimpi bermewah-mewah ria dalam hidupku kedepannya nanti, memiliki resort di Bahama, Jet pribadi, atau kediaman semegah Cheatau de Versailles. Entah bagaimana jadinya nanti, bisa saja suatu ketika kekejaman hidup memang melunturkan niatku saat ini, tapi jikalau bisa, atau tepatnya aku sangat berharap aku bisa mewujudkan semua ambisiku yang sekarang. Tak terlalu muluk, tapi terdengar agak jauh dari kata mudah.

Di sebentang masa depanku yang akan kupijak nanti, aku ingin diriku berarti. Bukan hanya bekerja lalu menerima gaji, tapi juga ucapan terimakasih yang tulus. Bukan hanya sukses dan terkenal, tapi kehadiranku juga bermakna dan terkenang. Bukan hanya untuk diriku sendiri, aku ingin sukses dimataku, demi orang-orang yang kusayangi, dan untuk semua orang. Aku ingin setidaknya memberikan hal kecil saja untuk kemajuan negeri ini. Setidaknya, jadi apapun nanti, itulah yang kuharapkan. Sederhana kan?

Tapi kalau boleh, aku ingin sedikit bermimpi. Bermimpi soal hari-hariku kedepan. Kuharap ego-ku masih berada dalam tahap wajar, tapi seandainya ini sudah terlalu egois aku harap kalian tak keberatan mendengarnya kali ini saja. Aku ingin menjadi seorang fashion designer, masih seperti apa yang selalu kukoarkan selama ini. Aku ingin berkesempatan sekolah design di Paris, lalu membuka butik di daerah pinggiran kota selepasnya. Butik yang berlokasi di dataran yang agak lebih tinggi dari pusat kotanya, dan agak jauh dari kebisingan. Butik itu menyatu dengan kediamanku nantinya, dengan design bangunan ala victorian classic yang di sederhanakan dan taman-taman penuh mawar juga beberapa pepohonan musim gugur yang besar-besar di halamannya. Bangunan itu berlantai tiga, tapi dari depan terlihat hanya dua lantai, karena lantai terbawahnya terkubur setengahnya. Jika dilihat dari belakang, barulah ketiga lantainya terlihat betul. Lantai dua yang paling luas jadi tempat kerjaku, sementara bagian lain fungsinya tetap sebagai rumah. Di lantai paling bawah terdapat sebuah balkon dengan seperangkat meja jamuan teh. Itu memang lantai terbawah, tapi karena rumah itu terletak di dataran yang agak tinggi, dari sana kita jadi bisa menikmati view seisi kota yang gemerlapan di malam hari dan alam di sekitarnya yang masih hijau dikala pagi. Di rumah yang merangkap butikku itu aku bekerja. Menghasilkan karya demi karya yang kerap menuai tanggapan positif. Di sana juga aku menulis buku-buku yang kuharap nantinya bisa menginspirasi banyak orang. Dari hasil menulis dan mendesign itu aku akan mengumpulkan uang untuk merintis berdirinya yayasan sosial yang insyaallah kukepalai. Yayasan itu memiliki misi untuk menghapuskan diskriminasi terutama pada anak-anak, mengembangkan pendidikan yang berorientasikan minat, bakat, dan pengembangan karakter, juga mendirikan sekolah-sekolah gratis dengan sistem yang yayasanku kembangkan terutama di Indonesia dan di negara-negara miskin di belahan dunia manapun. Dari yayasan itu, kuharap aku bisa menjadikan diriku berguna bagi banyak orang, dari sana juga kuharap aku bisa setidaknya sedikit berkontribusi dalam membenahi kekacauan negeriku ini, karena dengan melindungi anak-anak, dan memberikan mereka yang terbaik, juga menanamkan semangat cinta tanah air pada mereka, itu berarti aku telah melukis  sketsa untuk kemajuan negeriku ini kedepannya. Setelah Indonesiaku, barulah yayasanku, aku dan kawan-kawan hebatku yang terlibat di dalamnya akan meneruskan perjuangan kami ke lingkup dunia internasional. Amien…

Tapi tetap saja, apa yang aku cita-citakan itu tak mudah, itu sulit dan butuh pengorbanan besar. Sementara aku  tak punya banyak waktu untuk dibuang percuma. Definisi kesuksesan di mata orang tuaku dan dimataku ternyata berbeda. Tapi jika aku tak pernah bermimpi menjadi orang kaya, apa yang di kemudian hari bisa kupersembahkan untuk sedikit membalas budi mulia mereka? Meski nyatanya sekedar materi yang berlimpah pun tak akan pernah cukup untuk balas segala yang telah mereka korbankan. Aku tak sanggup untuk memfonis impianku mustahil dan berpindah ke jalur aman yang orang tuaku pilihkan untukku.

Andaikata keadaan keluargaku lebih bersahaja, mungkin mengambil langkah yang aku mau tak akan jadi hal yang sesulit ini. Tapi, itu namanya kufur nikmat. Lagipula, jikalau aku ada dalam keadaan seperti itu, belum tentu aku memiliki cita-citaku yang sekarang. Bagaimanapun, inilah hidupku, dan hal sekecil apapun yang ada di dalamnya tak seharusnya tak kusyukuri. Karena semua hal itulah aku ada disini, aku meraih apa yang aku raih kini, dan menjadi diriku yang sekarang ini. Sampai saat ini, setidaknya aku masih berjuang. Aku hanya berharap jalanku mudah, sehingga suatu saat, sebelum masalah manusiawi semacam tekanan ekonomi meluruhkan asaku, aku sudah mendapati diriku dalam posisi aman yang dekat dengan cita-citaku itu.

Aku menulis begini bukan tanpa tujuan. Selain untuk mengabadikan inspirasi dan ideku dan berbagi kisah dengan kalian, aku ingin mendokumentasikan ini sebagai doktrin dariku dan untukku sendiri. Agar nanti, suatu ketika dengan membaca ini aku bisa kembali semangat apabila sudah hampir putus asa. Juga agar nanti, sekiranya aku lupa akan apa yang pernah aku janjikan soal masa depanku, apabila aku lupa akan niatku untuk berjuang , aku malu atas ocehanku malam ini lalu kemudian menyusun tekadku kembali. Aku masih berjuang dalam cita-citaku dengan semua beban di pundakku, sambil berdoa dan terus berharap, apa yang jadi tujuanku dapat teralisasikan suatu hari nanti dan orang tuaku dapat menyadari kesungguhanku pada hal ini, lalu pada akhirnya kembali mendukung kenekatanku seperti yang sebelum-sebelumnya. Aku memang tak bermimpi jadi orang kaya, tapi sungguh, segalanya yang kuraih kedepannya adalah juga untuk mereka. Setidaknya sekalipun aku tak bisa membuat orangtuaku bahagia, dengan meraih apa yang aku cita-citakan aku bisa membuat mereka sedikit berbangga.





“Karena sesungguhnya ini adalah aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup…”


-Yuanita WP, 2012-

Wednesday, April 04, 2012

Tanjoubi Omedeto, Onii-chaan~

-My Talk with Him-

Huuaaaa XD
Ini sudah yang keberapa kali ya, kita rayakan ulang tahunmu bersama, NiichaanXD
Emm.. tunggu, tunggu! Biar kuhitung, satu.. dua.. Ah, empat! Empat kali sudah aku rayakan hari ini untukmu! Aku hebat kan? Sudahkah menurutmu aku jadi adik yang baik? Hmm?
Ahahaha..

Yah, aku tahu tipikal yang sepertimu tak akan pernah mengakuinya secara terang-terangan. Tapi itu berarti, tak menutup kemungkinan bahwa pertanyaanku tadi itu sebenarnya menuai jawaban positif bukan? Sudahlah, aku tak akan mengintimidasimu di hari yang seharusnya membahagiakan buatmu ini~


Hei, jangan pasang muka datar begitu, atau kubuang nanti buku merahmu itu! Yah, oke itu bagus. Tahan senyummu itu untuk beberapa saat, ya? Aku suka melihatnya. Ngomong-ngomong, rambutmu sudah agak panjang ya? Hei, jangan digeser handycamnya! Aku sudah mengatur anglenya tau! Apa? Itu mempersempit tempatmu? Aduh, kau ini terlalu sering makan di lapangan sih. Meja café mana sih yang seluas meja dapur ujian Hunter?

Eh, Nii-chan, kudengar prestasimu semakin baik saja.. Jujur, aku agak iri, karirmu terus menanjak sementara prestasiku sendiri masih naik turun. Ah, apa? Ooh, iya.. aku masih belum mengenal betul lingkungan baruku. Kau tahu, soal adaptasi aku tak sehebat dirimu, meski sudah hampir setahun. Lagipula, aku rasa aku masih minim kesempatan juga.. Iya, iya.. aku tahu.. terimakasih ya, aku tahu aku selalu tahu kau kakak yang baik hehe:D

Ukhhuk.. APA?! Uhh.. kenapa pakai bertanya begitu? Tidaak.. tidak, soal itu tidak ada perkembangan menarik. Aku masih hanya diam, menunggu, meski sepertinya semuanya mulai jelas, semua yang kulakukan tak ada artinya baginya. Dia tak pernah tahu, haha.. Ha? Apa yang akan kulakukan? Yaa, sudahlah.. mau apa lagi. Kau sendiri yang bilang jika perasaan seseorang itu tak bisa dipaksakan. Mungkin akan ada yang lebih baik darinya nanti. Kau sendiri bagaimana? Jangan seenaknya berbaik hati ke semua orang, kau tahu, dengan begitu kau berarti memberi harapan mereka tau. Apa? Kau tak bermaksud begitu? Ya, aku tahu.. Tapi itu memang yang terjadi. Kau harus mulai menegaskan soal itu, kau ini sudah semakin tua tahu!

Haha, selalu saja kau ini.. Hal seperti itu jangan dianggap remeh juga. Meski aku tahu obsesi utamamu adalah karir, urusan seperti ini juga jangan diabaikan. Ahaha, baguslah kau mengerti. Eh, jadi kau pilih siapa? Neon atau Leorio?


Ahahaha.. santai lah, tak usah salah tingkah begitu..
Jujur aku setuju kau dengan siapapun, asalkan bukan Kuroro. Ah, tidak mungkin? Iya, oleh karena itu aku pun tak suka dengannya, tapi dari gossip yang kudengar dia lumayan dekat kan denganmu? Jadi tidak? Oh, baguslah. Kalau pun kau pilih Neon, aku juga setuju-setuju saja, meski sejujurnya dia agak merepotkan sih. Tapi, tapi.. kulihat lihat kau lebih cocok dengan Leorio!


Iya, iya.. aku tahu kau dan dia sama-sama laki-laki. Tapi, yaa.. aku hanya merasa jika kalian cocok, itu saja kok hahaha. Ya sudah, terserahmu saja lah. Yang penting kalau kau punya kabar baik soal itu, pastikan aku jadi orang pertama yang kau kabari , oui?
Hei, itu dia kuenya! Pelayan, disinii!


Waah, terlihat benar-benar enak. Cepatlah, aku tak sabar makan kuenya! Eits, jangan ditiup dulu. Ah, kau ini.. apa di Lukso sama sekali tak ada tradisi semacam ini ya? Dimana-mana kau itu harus mengucapkan harapanmu dulu. Tidak, tak perlu diucapkan keras-keras, cukup dalam hati saja. Hmm.. aah!


Uwaah, selamat yaa! Joyeux Anniversaire, mon frére!
Iya, iya.. sama-sama. Tapi ingat ya, sebentar lagi aku ulang tahun lho.. dan itu berarti giliranmu tiba hehe. Huh, beres, beres, sombong sekali kau ini..
Hei, ini untukku? Uuaah.. yang pertama untukku? Aaah, merci, merci! Aku makan ya? Kau mau? Haha, itu masih banyak, makan saja sendiri, kau sudah sebesar ini untuk apa disuapi, hohoho..


Aku bangga jadi adikmu, teruslah menjadi dirimu yang membuatku bangga, ya? Aku tak meminta terlalu banyak, hanya saja, berjanjilah jangan pergi lama-lama, jangan bahayakan nyawamu, kau tau aku mudah merindukanmu. Oke, oke.. yang itu agak sulit. Ngomong-ngomong aku belum dapat kado yang cocok untukmu, kau sedang ingin apa? Ah, dasar.. ditanyai jawabnya begitu.. Aku sungguh bingung! Kau kan begitu idealis, aku hapal itu kok. Sedang kau tahu aku sebegini ceroboh dan gegabahnya, nanti kalau aku salah memberi hadiah bagaimana? Eh, sungguuh?XD


Kau akan menerimanya apapun itu? Baiklah, baiklah.. tunggu saja kalau begitu. Uhk, aku kenyang.. kita mau pulang kapan? Jam berapa sekarang? Hah, Jam setengah sembilan? Aduh, cepatlah, ayo antar aku pulang..




Eh, sama-sama.. Terimakasih juga sudah menjadi kakakku selama ini..



“In this great birthday party
With My Beloved Brother, Kurapica”
-Yuanita WP, April 4th 2012-

Monday, April 02, 2012

Sense of an Autumn



Puas Kalian??!
Puas Kau Ilana Tan?
Puas Kau Marshella Riyanto yang telah memberikan saya ebook nggak penting ini buat dibaca?
Puas Kau Bella Civia Noverianti yang telah membuat saya penasaran lebih jauh terhadap isi novel ini?
Puas Kau “Autumn in Paris” yang judulnya sudah membuat saya kepincut dan akhirnya membuat saya memutuskan untuk mengorbankan setengah waktu minggu saya yang “mahal” hanya untuk melahap habis sisa 4/5 buku yang belum terbaca tadinya?
Puas Kalian menguras air mataku hari ini?!



Ini tersangkanya!

Oke, kalian berhasil, dan nilainya lumayan! LULUS KKM! Yeeahh!#plak
*Maap yang diatas saya songong~#sujud-sujud*
Sebenarnya saya ini sangat sangat kudet, secara ini novel udah dari kapan tau terbitnya dan saya baru baca =3= Sebenernya, udah niat men, dari dulu dulu. Semenjak saya tau dari temen saya yang katanya sodaranya beli ini buku setaun yang lalu. Toh dari judulnya aja, saya udah kepincut berat, tuh liat, AUTUMN IN PARIS!


Pertama, AUTUMN!
yoohoooo, tau gak sih, itu musim favo saya sejak zaman dahulu kala, sejak saya tahu bahwa di dunia ini gak Cuma ada musim kemarau, musim hujan, dan musim layangan. Sejak saya tau bahwa negara-negara beriklim subtropis dan dingin memiliki empat musim dimana salah satunya adalah musim gugur. Saya nggak peduli seberapa noraknya saya terhadap salju. Toh, orang kan biasa mikirnya gitu, yang gak ada disini dan ada disana itukan Cuma salju!

 Musim panas? Banyak. Musim semi? Tinggal nunggu tiap pagi juga ada kembang yang mekar. Nah, musim gugur? Ini pas kemarau dateng aja ke kebon jati, nah itu pada meranggas semua daunnya kan jadi pada gugur. Kalo salju? Kan nggak ada. << nih pemikiran orang norak, tauan salju mah di freezer kulkas juga ngampar kalo gak pernah dikuras#plakk

Gak tau kenapa, saya memang lebih tertarik sama Autumn dibanding musim lain. Keren aja gitu, meski namanya dalam bahasa Jepang terdengar lawas, of course, Autumn in Japanese called as “AKI”. And “AKI” in the sundanese has a same meaning as “EYANG KAKUNG”=3=#ngaco

Warna yang di compose sehingga menghasilkan harmoni yang biasa tertampilkan pada musim gugur adalah warna-warni yang saya suka. Cokelat, oranye, kuning telur, keemasan, agak kehitaman, sedikit dark lime, dan masih banyak lagi. Pokoknya warna-warna yang tak jauh dari situlah. Selain itu, menurut saya juga, menghabiskan waktu untuk berjalan jalan di taman, lalu berhenti di pinggir sungai, memandangi cahaya keemasan matahari senja yang terpantul di sungai sambil menikmati semiliran angin dingin yang dibubuhi lembaran lembaran daun cokelat berbagai bentuk yang turut menari bersamanya. Ituu… KEREEENN!!

Yang jelas intinya sudah sejak lama saya menyukai Autumn#reader:wan, Autumn siapa?-halah-
Tak peduli barisan pohon besar di depan Perpus Umum pas peralihan antara musim kemarau ke hujan pun daunnya agak cokelat-apa item yak?- dan berguguran juga saking kenceng anginnya. Musim yang beneran pengen banget saya alami pertamakali kala saya menginjakkan kaki di negara subtropis manapun atau bahkan di ranah benua biru sana suatu saat nanti adalah musim gugur. Yang menjadi latar dari Eiffel yang saya lihat secara langsung pertama kalinya nanti pun saya harap musim gugur. Dan yang menemani saya kala itu saya harap adalah Naoya#amin..


Yang Kedua, PARIS!
Yap, kalian tau itu kota impian saya sejak lama. Sejak kapan ya? Persisnya saya lupa yang pasti udah dari SD. Kenapa saya suka sama Paris?#nah ini siapa lagi?-ngek-
Yang pertama bukan karena Paris itu kota cinta, kota romantis atau apa. Toh, mengerti apa seorang saya yang duduk di SD tentang begonoan? Pertama saya suka karena itu kota kayaknya menghargai seni banget. Seni nggak jadi kebutuhan quarter-aja-nggak kayak disini. Disana, bahkan primer. Orang orang bisa hidup hanya dengan mengamen atau menjadi pelukis jalanan. Dan tentu mereka bukan hanya membawa kecrekan beras asal dan bernyanyi sesuka hati sambil memasang tampang melas, melainkan benar-benar menyuguhkan apa itu seni. Kota ini juga kota mode, meski akhir akhir ini sedikit tersaingi Milan dan London, atau bahkan Rio de Janeiro. Tapi tetap saja, yang namanya Paris itu ya identik betul dengan fashion. Dan asal kalian tau, aku urakan urakan begini, lumayan tertarik untuk jadi seorang fashion designer, hohooho..
Belakangan, setelah saya sudah mulai melirik dunia romance dan akhirnya terjun bebas semaunya kesana, benar harus kuakui, Paris itu romantis…#ugyaaa!!

Dan kedua kata itu dikombinasikan dengan dijembatani satu konjungtor yang bermaknakan ‘di’

AUTUMN IN PARIS a.k.a Musim Gugur di Paris#oke kalo diterjemahkan agak sedikit iloy
***

Err, Sekarang review dikit ya?
Pertama, perasaan saya dipermainkan sama ini novel. Sebelum baca saya udah denger sih dari temen-temen yang udah baca. Katanya sedih lah, kasian lah, terakhirnya mati lah, cowoknya mati lah, sad ending lah, pokoknya saya udah dapet banyak bocoran deh. Awalnya saya kira itu cerita cukup klise, tapi ternyata ide cerita yang sudah lumayan lumrah itu berhasil dikemas dengan menarik. Di awal cerita munculah seorang cewek amburadul blasteran Indo-France, yang sangat ditonjolkan sebagai seorang yang cerewet dan mudah penasaran, yang  kemudian difonis menjadi tokoh utama. Setelah dirinya, muncul orang lain. Seorang pria*wedeew..* yang kebetulan bikin saya takjub, terpana, plus ngakak, karena kenapa?

Pertama, namanya ituloh, Sebastien! Sebastien Michaelis kali.. huahahhaXD
mungkin Sebastien itu versi French-nya Sebastian..

Yang kedua, si Sebastien ini mengingatkan saya sama Tamaki, Francis, Sanji, Michiru Nishikiori, dan banyak chara anime lainnya yang kurang lebih sejenis#eh, setipe. Yang saya suka dari mereka, termasuk si sebastien ini, meski mereka seenaknya flirting sana sini, tebar pesona sana sini, tapi tetep ada di mata mereka wanita yang punya kedudukan paling tinggi dibanding semua sasaran flirting mereka. Biasanya, mereka justru menjaga jarak dan hanya menjadi sebatas teman tanpa melakukan hal yang lebih jauh terhadap si wanita. Intinya, mereka tetap pribadi yang menghormati wanita kurang lebih.

Then, Si Sebastien ini benar-benar ditampilkan dengan tabiat asli khas orang Prancis. Liat aja seberapa sering dia tebar pesona, seberapa gampang dia dapet cewek baru, dan seberapa banyak mantannya atau bahkan pacarnya. Asal kalian tau, kebanyakan orang Prancis memang gitu, jangankan seorang fiktif seperti Sebastien, Napoleon-pun ternyata begitu..*ssstt..

Yang terakhir, SEBASTIEN PAKE KACAMATA!!!
entah kenapa saya juga demen ngeliat yang matanya agak mblawur#plakk
nggak sih, cuman cowok pake kacamata itu kayaknya keren aja gitu…
Berwibawa, keliatan pinter, apalagi kalo pas lagi benerin kacamata yang bagian hidungnya itu pake telunjuk doang#WWHOOAAA XDD*mimisan*

Alkisah, dalam cerita tersebut, masih di bagian awal, si Sebastien ini sering bikin Tara naik darah gara gara sering seenaknya cerita tentang cewek-ceweknya ke Tara yang notabene, menyukai Sebastien. Tapi, overall, di awal appearing, Tara sama Sebas itu cukup serasi kalo menurut saya.

Setelah mereka berdua, datanglah seorang lagi, yang kalo dibayangan saya, ibarat Sebas, Tara dan si orang baru ini Cuma punya 1 warna untuk mewakili diri mereka, Tara itu cokelat muda, Sebastien Kuning-Biru, dan si orang baru ini Hitam-Putih-entah kenapa-. Yak dialah Tatsuya Fujisawa, yang mengingatkan saya pada my dear Naoya, coba aja dia pake kacamata..#wan, banguun..!

Dia itu termasuk tipe yang saya incar#apadah. Yaa.. dimana seeh, nyari yang tipe begitu? Dimana woyy?!#ribut, dihajar warga

Yaaampuun, dia itu tampan, rambutnya hitam lurus, tak neko-neko. Dengan wajah oriental campur agak barat. Dan warna mata abu-abu gelap. Aiihh.. ^////^
Udah gitu, pengertian, penuh kejutan, baik banget, dan perlu digaris bawahi, romantis kawan-kawann..
Oiya, dia PINTER MASAK!XD

Kalo ngomongin soal ceritanya, awalnya saya nggak ngira jika si Tatsuya ini adalah aktor utamanya, beneran awalnya saya kira si Sebas. Lagipula di awalan cerita, perannya si Tatsuya ini bagai ubur-ubur, yang muncul, mendem, muncul, mendem, muncul lagi, mendem lagi#fiuhh..
Dan semua berubah saat negara api menyerang#salah!
Dan semua berubah saat Sebastien ke Nice, dari sana mulai tuh kedekatan-kedekatan antara Tara dan Tatsuya terbaca, mereka tanpa disadari sering pergi bareng dan semakin saling mengenal. Terus cara-caranya si Tatsuya yang melibatkan acara siaran radionya Elise dalam hubungan mereka itu saya akui cukup romantis dan kreatif juga. Semenjak itulah Tatsuya mulai bikin saya gigit jari. Yang saya perhatiin dari ini novel, kenapa ya hampir setiap pertemuan antar tokohnya itu dilakukan di jam istirahat makan, apa mungkin karena istirahat makan di Prancis itu lama ya? Terus lagi, si Tatsuya itu seneng banget megang kepalanya Tara. Kalo ini, emang ada sih tipe cowok yang emang kebiasaan suka megang kepala ceweknya. Setau sayaa~

Nah, di bagian pemunculan masalah, waktu Tara mulai merasakan sesuatu yang lain terhadap Tatsuya, saya sempet memfonis dia serakah. Ck, nggak serakah juga sih, maksudnya kok tega, kok bisa gitu lho berpindah secepat itu, wong saya aja nggak bisa bisa#stoopp! curcol lagi gua buang ke kali lu!

Tapi semua itu berhasil diluruskan Elise, bahwa sebagaimanapun Tara itu terkadang cemburu, sebagaimanapun ia tetap selalu mengharapkan perhatian Sebastien, ia bukan menyukai Sebastien dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan. Melainkan hanya sebagai teman atau kakak saja. Ini juga yang saya pelajari dari novel ini, bahwa ternyata menyukai seseorang pun ada tingkatannya, ada level dan bagiannya sendiri, dan perasaan suka itu tak tentu berhujung cinta.

Sejak disadarkan oleh Elise itulah, Tara tak lagi bimbang tentang perasaannya teradap Tatsuya. Sedang Tatsuya sendiri, ia jatuh cinta pada Tara sejak pertamakali melihatnya di Bandara, seperti ceritanya pada acara siaran Elise di Radio. Ada hebatnya lagi, cowok yang saya kira lawan mainnya Tara pertamanya, ternyata bener malah protective banget. Sampe sebelum Tara sama Tatsuya berhubungan lebih jauh, si Sebas ngancem Tatsuya, kalo dia nggak mau serius sama Tara, lebih baik dia mundur, karena kalo sampe Tatsuya menyakiti hati Tara, Sebastien-lah yang akan dihadapinya.

Hubungan Tara sama Tatsuya itu harmonis, manis, dan bikin melting banget. Mereka nggak mengumbar kemesraan macam orang Prancis lainnya kalo pacaran-mereka memang bukan orang Prancis sih-. Mereka hanya menghabiskan waktu untuk mengobrol, sharing, makan bersama, saling mentraktir, bergantian memasak, dan bersenang-senang di banyak tempat. Namun kesederhanaan itulah yang justru membuat mereka tahu, akhirnya, apa yang mereka inginkan dalam hidup mereka telah sama-sama mereka temukan.

Sayangnya, hidup tak akan berjalan semudah yang mereka bayangkan kedepannya. Misi Tatsuya ke Paris, selain untuk memenuhi kontraknya di perusahaan Ayahnya Sebastien, yakni untuk menemui cinta pertama Almarhumah ibunya dan menitipkan pesan beliau padanya lah yang menjadi sumber dari berbagai masalah yang kemudian timbul.
Dari Warna mata, kabut kelabu yang menyelimuti binar mata mereka, kabut yang sewarna itu, nantinya akan memudar dan memperlihatkan kenyataan apa yang takdir sembunyikan dari mereka. Ketika semuanya kemudian berbalik sulit, ketika sesuatu yang entah datang dari mana tiba tiba meremas hati mereka berdua, menghancurkan mereka pelan pelan, dan lambat laun, kenyataan yang ada memang harus mereka terima bahwa hidup yang mereka kira telah sempurna ini mengeruh begitu saja. Satu bagian saja hilang, maka kebahagiaan itu akan hilang, pudar, dan menguap habis pada waktunya, tergantikan oleh kesunyian, ketika akhirnya, kedua pasang kelabu itu berpisah, selamanya..
#HHUUUAAAAAAA!!!!*nangisdarah

Kemarin tercatat saya selesai membaca novel itu pukul 12.35, tapi sampe sore saya masih nyesek. Berkali-kali saya bengong lalu menggumam pelan, ‘yaampun.. Tatsuya-nya kasian, Tatsuya-nya kasian..’
RALAT, sampe ini pagi, bangun tidur saya masih nyesek!

Haahh.. bener deh, ini novel!
Tapi jujur, sebagai seorang pembaca perempuan, saya bukan simpati kepada Tara disini, melainkan Tatsuya. Sayangnya Point of View yang digunakan disini itu orang ketiga, seandainya orang pertama, dan yang nyeritain itu Tatsuya, nangis saya pasti lebih parah dari ini. Tapi pemilihan POV-nya tepat, dengan mengambil sudut pandang sebagai orang ketiga, pembaca jadi bisa lebih merasakan pergelutan batin antar tokoh yang jadi jurus cesplengnya ini novel. Kalo POV-nya dari Tara, mungkin gak akan se-seru ini jadinya.
Kenapa saya justru simpati sama Tatsuya? Coba liat, disini dia sebagai pihak laki-laki, pihak yang dimana mana selalu jadi sang pengambil keputusan, termasuk saat ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Tara, meski ia terus mengulurnya karena tak sanggup dan akhirnya Tara tahu sendiri. Disini dia begitu kecewa pada semuanya, pada hidupnya, dan saya rasa dia tipikal orang yang pasrah, tipikal orang yang merasa jika setelah semua yang telah ia usahakan, tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa pasrah dan berharap Tara bahagia. Egois sekali, saudara-saudara.. Egois pada dirinya sendiri, dengan seenaknya si Monsieur ini mengesampingkan perasaan, hati, rasa sakit yang ia rasakan, bahkan jiwa dan raganya yang hampir lebur demi kebahagiaan orang lain. Meski itu adalah wajar karena Tara bukan siapa-siapa, dia bukan orang lain bagi Tatsuya, Tara itu cintanya, harapannya, apa yang ia inginkan untuk melengkapi hidupnya, juga adiknya, ternyata..

Cerita tragis yang berlatarkan musim gugur ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca kawan..
Terutama bagi kalian yang belum baca dan lebih kudet dari saya, jika anda ingin menangis, baca ini!#ngiklan :P


Nggak, sebenarnya banyak yang saya dapet dari ini novel disamping Cuma nangis. Ada banyak, banyak pelajaran hidupnya. Novel ini juga secara tak langsung menerangkan mengenai berbagai jenis cinta. Nggak percaya? Baca aja. Dari mulai cintanya Sebastien ke Pacar-pacarnya, Cintanya Tara ke Sebastien, Cintanya Sebastien ke Tara, Cintanya Tara ke Tatsuya, Cintanya Jean-Daniel ke Sanae, Cintanya Kenichi-ayah angkat Tatsuya- ke Sanae, Cintanya Jean-Daniel ke Ibunya Tara, dan masih banyak lagi, dan ternyata itu semua adalah cinta yang berbeda.

Oiya, saya nggak boleh ketinggalan memvonis cerita ini. Ini Novel bukan Sad Ending lagi, tapi Double Sad Ending! Secara, nyampe mereka udah nggak bisa barengan, nyampe Tatsuya pulang ke Jepang dan nggak akan balik ke Paris lagi aja itu udah Sad Ending banget, nah ini? Udah gitu pake acara meninggal lagi Tatsuya-nya, kan namanya menyiksa pembaca kalo begini namanya. Kasian tau.. Tatsuya-nya…

Oke, Overall, 4 jempol yang saya punya rela saya persembahkan buat ini novel. Alamaak, kerenn! Lama saya tidak membaca novel yang bikin saya greget sebegininya. Bagi kalian yang baca ini post dan belum baca novelnya, saya ancam, HARUS BACA!

Ya

Ya


Ya


Ya




Yaaaaa?






#jatoh
Aduh!







#bangun, benerin baju
Oke, selamat siang dan salam olahraga! -Yuanita WP, 2012-